Thursday, December 12, 2002

Asia Pasifik Setelah 11 September

Pengantar

Dalam setahun terakhir, tak ada isu lain kecuali “war on terrorism” yang demikian menonjol mempengaruhi hubungan antar negara di planet ini, dan lebih khusus di kawasan Asia Pasifik.

Dan tidak ada negeri lain kecuali Amerika Serikat yang demikian dominan mempengaruhi hubungan internasional di kawasan itu.

Dinamika politik dalam negeri Amerika, dan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, tak bisa dipungkiri sedang secara meyakinkan membentuk watak baru hubungan internasional paska Perang Dingin, yang dicirikan oleh:

- hegemoni yang kian kental dari Amerika, sebagai satu-satunya adikuasa dunia
- watak unilaterlisme ketimbang kerjasama internasional
- pendekatan keamanan yang lebih menonjol; ditunjukkan oleh peningkatan tajam dalam anggaran militer, tak hanya di Amerika tapi juga negeri-negeri kawasan ini.


Perubahan radikal itu membawa konsekuensi luas dalam hubungan antar negara dan politik domestik masing-masing negara:

- menguatnya semangat unilateralisme mengancam solidaritas dan kerjasama dalam badan-badan internasional (PBB, Asean dan bahkan Apec)
- menguatnya pendekatan keamanan cenderung mengabaikan kepedulian kepada hak asasi manusia dan demokrasi (banyak negara, seperti Amerika Serikat, mengadopsi UU Anti Terorisme yang dikritik sebagai ancaman terhadap kebabasan sipil).
- menguatnya pendekatan keamanan juga cenderung menindas agenda-agenda mendesak seperti agenda memperkecil disparitas ekonomi antara negeri kaya dan miskin, serta komitmen terhadap perbaikan kualitas lingkungan hidup. (Bantuan ekonomi kini cenderung dikaitkan dengan keseriusan sebuah negara “memerangi terorisme”)


Dinamika Politik Amerika Setelah 11 September

George W. Bush terpilih menjadi presiden Amerika dengan suara yang minim dan terbelah. Dia hanya menang tipis dari Al Gore dan itupun melalui silang-sengketa pengadilan yang membuat proses pemilihan berkepanjangan.

Setelah menang, legitimasi Bush bahkan tidak membaik. Sejumlah skandal keuangan (Skandal Enron misalnya) tak hanya melibatkan orang-orang terdekat Bush tapi juga memperburuk kinerja bursa saham Wall Street dan memperkuat trend resesi ekonomi. Hanya dalam satu tahun masa kekuasaan Bush, surplus anggaran sebesar US$ 405 milyar berubah menjadi defisit anggaran US$ 157 milyar.

Meski ekonomi tak membaik, semua berbalik arah menguntungkan Bush setelah 11 September 2001. Memanfaatkan serangan teroris itu (Al Qaidah dituding menjadi biangnya), Bush tak hanya sukses menyatukan Amerika di bawah kepemimpinannya, memperkuat legitimasi dia, meningkatkan “standing” sejumlah politisi Partai Republik, serta mendesakkan sejumlah kebijakan/agenda secara tak terlawan.

Melihat siapa aktor-aktor terpenting dalam lingkaran Gedung Putih maupun Senat sekarang kita bisa melihat ada beberapa watak dan kepentingan yang mencolok dalam agenda domestik maupun internasional:

- Kepentingan minyak (yang diwakili oleh Bush sendiri, Wakil Presiden Dick Cheney dan penasehat nasional Condoliza Rice)
- Kepentingan industri militer (yang diwakili tokoh Pentagon seperti Donald Rumsfeld).
- Watak neo-konservatif yang cenderung anti-imigrasi dan tidak terlalu peduli dengan kebebasan sipil serta hak-hak asasi manusia (diwakili oleh Jaksa Agung John Ascroft)


Di dalam negeri, kelompok ini sukses menggolkan sejumlah legislasi dan kebijakan yang di masa normal sulit bisa diterima.

- Patriot Act dan Homeland Security Act (yang dikritik bakal mengancam watak pluralisme dan kebebasan sipil, salah satu kebanggan Amerika selama ini.) Sekitar 1.200 orang ditahan tanpa pengadilan setelah 11 September dan 750 di antaranya dengan tuduhan pelanggaran imigrasi. Isu ini akan mempengaruhi hubungan Amerika dengan beberapa negara Asia-Pasifik yang banyak mengirim imigran ke Amerika.
- Peningkatan Angaran Militer Pentagon sebesar 15% menjadi US$ 390 milyar (yang terbesar setelah era Ronald Reagan). Dengan itu, Amerika kini memiliki anggaran militer sekitar 40% dari seluruh anggaran dunia, yang artinya lebih besar dari gabungan anggaran militer Rusia, Inggris, Prancis, dan Cina sekaligus. Dengan trend yang sama, pada 2005, anggaran militer Amerika akan lebih besar dari anggaran militer semua negara di dunia digabung jadi satu.
- Peningkatan anggaran pertahanan dalam negeri (homeland security) sebesar 100%, sekitar US$ 37 milyar, untuk melakukan reorganisasi besar-besaran dalam birokrasi Amerika melawan terorisme.


Di tingkat internasional, kebijakan luar negeri Amerika lebih didominasi oleh Pentagon ketimbang Departemen Luar Negeri (Collin Powell), dengan ciri unilateralis yang kental dan semangat neo-imperalis yang tak tertandingi.

Watak seperti sangat nyata dalam doktrin kebijakan politik luar negeri seperti tercantum dalam dokumen Gedung Putih belum lama ini, yang kini dikenal sebagai “Doktrin Bush”. Ada beberapa ciri menonjol di situ:

- Amerika bebas mengambil tindakan pre-emptive melawan teroris dan negara yang dianggapnya memiliki senjata pemusnah massal.
- Tak ada negeri atau gabungan beberapa negara yang akan dibiarkan melawan superioritas militer Amerika. (Pernyataan terkenal Presiden Bush setelah 11 September: “You are either with us or againts us”)
- Aksi unilateralis lebih baik dari perjanjian-perjanjian dan organisasi internasional dalam mencegah terorisme dan penyebaran senjata pemusnah massal.


Watak seperti itu sangat nyata dalam serangan Amerika ke Afghanistan untuk mengganyang Rezim Taliban dan dalam upayanya melakukan “regime change” di Baghdad.

Watak unilateralis Amerika juga nampak dalam beberapa isu yang cepat atau lambat akan mempengaruhi pola-pola hubungan internasional:

- Selaras dengan peningkatan anggaran militer, Amerika secara sepihak menarik diri dari Perjanjian Rudal Anti Balistik (ABM Treaty) dengan Rusia yang dulu dipandang sebagai tonggak besar mengakhiri perlombaan senjata nuklir.
- Amerika juga menolak memperbaharui kebijakannya menyangkut produksi dan pemakaian ranjau-darat yang kini dikritik sebagai salah satu pembunuh paling mematikan dalam perang konvensional.
- Memaksa banyak negara bergabung dalam perang anti-terorisme, Amerika justru menolak International Criminal Court—sebuah mahkamah tingkat dunia untuk mengadili penjahat kemanusiaan. Amerika meminta warga negaranya dikeluarkan dari jurisdiksi mahkamah itu.
- Menekankan pendekatan keamanan, Amerika mengesampingkan kepeduliannya pada isu ekonomi, penguatan organisasi dunia seperti PBB, dan lingkungan. Dilihat dari prosentase bantuan terhadap GDP, Amerika termasuk negeri yang paling pelit dalam bantuan ekonomi dan dalam sumbangannya terhadap badan-badan dunia; kalah jauh dari Jepang misalnya. Amerika juga menolak meratifikasi Protokol Kyoto tentang pencegahan global warming.

Impak Kebijakan Luar Negeri Amerika di Asia Pasifik

Kebijakan luar negeri Amerika yang cenderung unilateralis, imperialis dan menekankan isu terorisme setelah 11 September memiliki dampak yang bersifat global—artinya tidak unik Asia Pasifik.

Setelah 11 September, Presiden Bush bersumpah “tak hanya akan menghukum teroris, tapi juga negeri-negeri yang melindungi teroris”.

Di berbagai penjuru dunia, tak hanya di Asia Pasifik, banyak negara sangat serius menyimak ancaman Amerika itu, baik didorong oleh motif solidaritas terhadap Amerika (yang terserang teror) maupun terpaksa melakukannya karena tekanan politik Amerika.
Banyak negara Asia Pasifik mengadopsi UU Anti-Terorisme yang cenderung “notorious”, termasuk negara-negara di Asia Tenggara, kecuali Malaysia dan Singapura yang lama telah menerapkan Internal Security Act, mirip UU Anti-Subversi di Indonesia dulu. Indonesia pun belakangan ini membuat Perpu Anti-Teroris setelah Teror di Bali.

Amerika juga memperbaharui kembali dan meningkatkan hubungan militer dengan negeri-negeri di kawasan ini. Di Filipina misalnya, Amerika memperkuat kehadiran pasukannya setelah “terusir” dari situ sejak jatuhnya Ferdinand Marcos. Dan di Indonesia, Amerika juga mencabut embargo bantuan serta penjualan peralatan militer yang terhenti setelah pelanggaran HAM militer Indonesia di Timor Timur.

Amerika mengkaitkan bantuan ekonomi dengan “prestasi” dalam perang melawan teror. Pada awal tahun ini, Menteri Koordinator Keuangan Dorodjatun Kuntjorojakti mengatakan Indonesia akan memperoleh kelancaran dalam bantuan CGI jika mau bersikap seperti Rezim Militer Pakistan, yang keras menghabisi “teroris”.

Namun, beberapa lembaga hak asasi manusia seperti Human Rights Watch menyayangkan bahwa “solidaritas perang melawan teror” telah memperumit soal domestik masing-masing negara. Menurut Human Rights Watch, banyak rezim otoriter memanfaatkan “perang melawan teror” untuk menindas hak asasi dan demokrasi. Kentalnya pendekatan keamanan juga membuat banyak negara mengabaikan solusi-solusi lain yang lebih mendasar dalam memahami masalah terorisme: khususnya pendekatan ekonomi, keadilan sosial dan penegakan hukum.

- Di Filipina, kehadiran militer Amerika untuk menghabisi kelompok Abu Sayyaf telah mengesampingkan kemungkinan dialog politik dengan kelompok Moro yang lebih moderat seperti MNLF-nya Nur Misuari.
- Di Malaysia, Mahathir memanfaatkan “perang melawan teror” untuk mengencangkan pemakaian ISA yang anti-HAM dan anti-demokratis, membuat ketegangan politik yang kian luas dengan kelompok oposisi dalam PAS dan pendukung Anwar Ibrahim.
- Di Indonesia, Perpu Anti-Terorisme telah membuka peluang dalam penguatan lembaga intelejen seperti BIN yang di masa lalu jelas telah melakukan covert-operation dengan oknum-oknum Kopassus. Bantuan militer Amerika juga memperkuat kembali posisi TNI serta sangat mungkin membuka peluang kembalinya TNI ke politik. (Belum lama ini, KSAD mengatakan bahwa militer tidak akan menghapus konsep teritorial. Dan pekan lalu, Pangab mengatakan bahwa yayasan militer yang berbisnis amsih diperlukan. Konsep terotorial dan bisnis militer adalah dua penopang penting dominasi militer).
- Bahkan negeri non-otoriter seperti Australia belakangan ini dikritik telah menerapkan pendekatan keamanan berlebihan terhadap minoritas Islam di negeri itu.

“Perang melawan teror” nampaknya memang tidak mengubah secara fundamental hubungan Amerika dengan banyak negara Asia Pasifik secara umum, kecuali di kawasan Asia Tenggara.

Secara umum memang terjadi perubahan prioritas dalam hubungan negara-negara di kawasan ini: dengan menempatkan isu terorisme hampir di atas segalanya. Pertemuan Apec tempo hari di Mexico misalnya, hanya beberapa hari setelah Tragedi Bali, banyak didominasi isu itu. Tapi, khususnya di Asia Tenggara ada dua faktor penting yang membuat dampaknya lebih mencolok dibanding di negara-negara lain:

- Peran geopolitik Asia Tenggara (yang sangat penting dalam mendukung kepentingan “imperial” Amerika)
- Peran komunitas Islam (gabungan Indonesia-Malaysia-Brunei mewakili komunitas Islam moderat terbesar di dunia)


Dengan dalih Asia Tenggara menjadi “luberan” sisa-sisa laskar Al Qaidah yang diberangus di Afghanistan, Amerika memperkuat kehadiran militernya di Asia Tenggara. Tapi, menguber sisa Al Qaidah nampaknya hanya satu saja motif Amerika di sini. Asia Tenggara adalah kawasan penting bagi Amerika mengingat beberapa hal:

- Jalur lalu lintas penting baik tanker minyak maupun kapal-kapal selam Amerika.
- Salah satu kawasan yang kaya akan minyak dan tambang berharga (emas) yang diminati perusahaan multi-nasional Amerika.
- Jika ekonomi membaik dan politik stabil, kawasan ini merupakan pasar yang sangat makmur.
- Dengan hadir di sini, Amerika bisa memantau dan menangkal gerak militer Cina, satu-satunya kekuatan yang potensial menandingi Amerika (Amerika lebih takut pada kekuatan militer dan ekonomi Cina ketimbang kepada kelompok radikal Islam yang tercerai-berai di sini)
- Penting bagi Amerika untuk memiliki hubungan baik dengan kalangan Islam moderat di Asia Tenggara, khususnya jika Amerika ingin melakukan “regime change” di Timur Tengah yang tidak hanya menjatuhkan Saddam Hussein tapi juga mengubah secara radikal politik Timur Tengah.


Kesimpulan: Perdamaian atau Ketegangan?
Perubahan hubungan internasional setelah 11 September nampaknya akan lebih banyak memunculkan ketegangan ketimbang peluang untuk perdamaian di kawasan Asia Pasifik.

- Sikap unilateralis Amerika, dan karena Amerika dominan, akan memperlemah posisi perjanjian-perjanjian internasional serta peran organisasi-organisasi regional maupun internasional.
- Sikap unilateralis itu juga memperkental citra double-standard Amerika dalam hubungan internasional (sangat jelas dalam penolakannya terhadap International Criminal Court). Itu juga akan memperlemah penghormatan kepada sendi hukum internasional, suatu hal yang sangat membahayakan.
- Melemahnya komitmen domestik Amerika terhadap hak asasi manusia dan demokrasi akan mudah menjadi dalih banyak rezim di Dunia Ketiga terus melanggar HAM dan menindas proses demokratisasi politik (Di Indonesia, bukan tak mungkin proses demokratisasi berbalik arah menuju otoritarianisme seperti di masa Orde Baru)
- Kentalnya pendekatan keamanan (dan prioritas berlebiha dalam menangani masalah terorisme) membuat banyak negara lupa mengobati masalah-masalah mendasar: keadilan sosial-ekonomi dan penegakan hukum yang justru sering menjadi akar dari aksi terorisme.
- Ambisi imperial Amerika akan memicu ketegangan baru di kawasan Asia Pasifik, khususnya dengan Cina (dalam bidang militer dan ekonomi-perdagangan) dan dengan Jepang (dalam bidang perdagangan).
- Keinginan Amerika untuk menjalin hubungan baik dengan Mulsim moderat di Asia Tenggara, sayangnya tidak dibarengi dengan perubahan radikal kebijakan luar negeri Amerika dalam soal Timur Tengah, khususnya di Palestina. Kecenderungan Amerika membela mati-matian Israel (belum lama ini Amerika membuat keputusan kontroversial dengan mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel) akan menjadi pusat ketegangan Amerika dengan komunitas Muslim di kawasan ini.


Bahan Rujukan

1. “War on terrorism”, motif dan impaknya bisa dilihat dalam “The Infinite War and Its Roots”, oleh Stan Goff (The Wilderness Publications, www.copvcia.com)
2. Tentang Ambisi Imperial Amerika, bisa dilihat di “Americas Imperial Ambition” oleh John Ikenberry (Foreign Affairs, September/October 2002) atau “The Anniversary of a Neo-Imperial Moment” oleh Jim Lobe, www.alternet.org, September 12, 2002
3. Bush Doktrin bisa dibaca dalam dokumen Gedung Putih: http://www.whitehouse.gov/nsc/nss.html
4. Menguatnya kehadiran Amerika di Asia Tenggara, motif dan kendala, bisa dilihat di “Is South East Asia The Second Front?”, John Gershman (Foreign Affairs, July /August 2002),
5. Impak “war on terrorism” di Amerika sendiri, lihat “One Year Later: Unintended Consequences of 9/11 and the War on Terrorism” oleh John Tirman, www.alternet.org, August 29, 2002
6. “War on terrorism” dan dampaknya bagi penegakan hak asasi manusia dan demokrasi bisa dilihat dari laporan-laporan Human Rights Watch (http://www.hrw.org) dan “Military role in war on terror questioned” (The Jakarta Post, 2 Oktober 2002)
7. Tentang perbaikan hubungan militer Indonesia-Amerika serta impaknya bagi demokratisasi, lihat “Indonesia at the Crossroads: U.S. Weapons Sales and Military Training” oleh Frida Berrigan dalam Arms Trade Resources Center, October 2001 http://www.worldpolicy.org/projects/arms/reports/indo101001.htm
8. Tentang bantuan Amerika untuk counter-terrorism, lihat Fact Sheet US Department of State (2 Agustus 2002)
9. Analisis dampak war on terror di Asia pada umumnya, antara lain lihat “The Asian Connection” (Al Ahram Weekly, http://www.ahram.org.eg/weekly/2002/570/in9.htm