Sunday, October 16, 2005

Lomba Kebodohan

Para menteri Kabinet Yudhoyono berlomba-lomba membuat pernyataan untuk menjustifikasi pencabutan subsidi bahan bakar dramatis belakangan ini. Tapi, jauh dari menyejukkan, banyak pernyataan itu menunjukkan sikap tidak sensitif terhadap krisis yang dihadapi rakyat kebanyakan, bahkan cenderung menggelikan.

Sebagai contoh, Menteri Kehutanan MS Kaban akhir pekan ini mengatakan bahwa hutan Indonesia akan habis dalam 15 tahun akibat penebangan liar dan kerusakan. Namun, kata dia, kenaikan harga bahan bakar ada dampak positifnya bagi kelestarian hutan. Tak bisa membeli minyak tanah, kata dia, rakyat akan memanfaatkan kayu hutan untuk bahan bakar. "Akan muncul kesadaran, rakyat harus menanam pohon yang kayunya untuk bahan bakar,” katanya.

Kebutuhan kayu bakar akan seketika, sementara penanaman pohon membutuhkan waktu tahunan. Menteri Kehutanan tidak ingin melihat fenomena bahwa kemiskinan akan punya korelasi kuat justru dengan kerusakan hutan, dan bukan sebaliknya.

Menteri Koperasi dan UKM Suryadharma Ali mengakui kenaikan harga harga bahan bakar akan memukul usaha kecil, namun pengaruhnya tidak terlalu besar yakni peningkatan ongkos produksi kurang dari 15%. Menurut logika sang menteri, usaha yang terpukul hanya usaha yang padat penggunaan bahan bakar, seperti usaha nelayan dan transportasi.

Menteri Koperasi tidak melihat kenyataan bahwa naiknya harga bahan bakar hampir meningkatkan seluruh komponen produksi usaha: dari bahan baku (yang naik akibat lonjakan tarif transportasi) hingga upah pekerja. Bahkan sektor jasa akan terpengaruh berat dengan naiknya tarif listrik yang akan menjadi konsekuensi logis dari naiknya harga bahan bakar.

Tapi, pernyataan paling menggelikan datang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Mengomentari langkanya elpiji dan naiknya harga gas itu yang gila-gilaan belakangan ini, dia mengatakan ”Itu tandanya bagus.” Kalla melihatnya sebagai gejala perubahan pola konsumsi energi masyarakat dari minyak tanah (yang mahal) ke elpiji akibat pencabutan subsidi yang dilakukan pemerintah.

Voila! Orang miskin, yang kini kesulitan membeli minyak tanah, telah mengalami ”sofistikasi” menggunakan gas elpiji yang harga tabungnya saja bisa mencapai Rp 300 ribuan, belum lagi harga gas yang kini melonjak jadi Rp 75 ribu per tabung.*

Saturday, April 23, 2005

Blog, Jurnalisme dan Prosumsi

Maraknya blog adalah maraknya kecenderungan "prosumsi". Istilah prosumsi diperkenalkan Alvin Tofler melalui "Future Shock" yang terbit pada 1970-an. Prosumsi = produksi dan konsumsi. Kemajuan teknologi, seperti internet, memungkinkan setiap orang menjadi produsen dan konsumen informasi sekaligus.

Blog memang merupakan sparing-partner menarik bagi jurnalisme konvensional. Banyak orang, terutama di Amerika, makin kehilangan kepercayaan pada media-media mainstream (televisi dan bahkan koran)--jumlah pemirsa dan pembaca koran terus turun dari tahun ke tahun. Media mainstream kian jatuh pamornya karena makin sarat berita negatif, gosip, kriminalitas, dan infotainmen. Fox TV adalah personalitas negative-journalism yang ekstrem, tapi citra seperti itu bahkan kini menghinggapi jaringan utama seperti CNN, ABC dan CBS (lihat bagaimana mereka memberitakan perang di Irak).

Orang beralih ke media lain. Orang mulai menggagas media alternatif untuk mencari substansi yang tidak diliput media. Atau menggagas civic-journalism. Atau mencari blog berisi opini dan perspektif alternatif.

Di masa depan, blog tidak hanya akan berisi jurnalisme single-source atau sekadar opini. Jurnalisme dengan standar yang bagus bisa muncul dari sini, lebih bagus dari media konvensional. Blog memudahkan wartawan "menerbitkan" karya jurnalistiknya tanpa saluran konvensional (mencetak dan menyiarkan).

Tapi, bagus atau tidak, kredibel atau tidak, karya jurnalisme dalam sebuah blog akan teruji oleh waktu, dan dinilai berdasar standar jurnalistik yang lazim. Jurnalisme adalah jurnalisme. Dan blog hanya medium. Tapi, mungkin kata-kata Marshall McLuhan berlaku di sini: "medium is the message". Blog adalah medium yang mengubah kebiasaan membaca dan menulis, mengirim dan menerima informasi.

PKS, Islam dan Barat

Fenomena Partai keadilan Sejahtera (PKS) membawa pemikiran bahwa pemerintahan di Barat perlu menanggalkan pandangan stereotip tentang partai Islam jika ingin membangun kesepahaman dan dialog yang bermanfaat dengan dunia Islam. Itulah kesimpulan Greg Fealy, pengamat Islamd an Indonesia dari Australian National niversity, dalam sebuah artikel di koran The Australian Maret lalu.

Why West should come to Islamist party (Anthony Bubalo, Greg Fealy)- The Australian, 29 March 2005, p. 11.

Fealy adalah salah satu pengamat Islam dan Indonesia yang saya sukai karena analisisnya yang jernih dan cenderung fair. Inti dari saran Fealy adalah bahwa, dengan melihat contoh PKS di Indonesia, Barat/Australia harus menanggalkan pandangan stereotipe tentang Islam dan partai berbasis Islam.

Pandangan Barat tentang Islam memang belum banyak beranjak dari kabut yang diciptakan Samuel Huntington: bahwa Islam adalah musuh dan bahwa Islam tidak kompatible dengan demokrasi.

Di mana-mana, partai Islam senantiasa dipandang sinis dan dengan penuh curiga meskipun mereka telah mau tunduk pada prinsip demokrasi: mengikuti pemilihan umum. Kecurigaan tidak hanya datang dari orang non-Muslim di Barat, tapi bahkan juga dari orang Muslim sekuler di negeri mayoritas Islam.

Di Aljazair, misalnya, Barat menolak kemenangan telak Front Penyelamatan Islam (FIS) dalam pemilu. Didukung oleh kelompok sekuler Aljazair, Barat mendukung pemberangusan FIS oleh rezim militer setempat.

Di Turki, Barat dan kaum sekuler mendukung pemberangusan oleh militer partai-partai berbasis Islam seperti Refah dan Partai Keadilan.

Ini memang ironis. Barat dan kaum sekuler, yang mengaku demokratis dan mengagung-agungkan demokrasi, ternyata bersikap tidak demokratis. Saya banyak menulis tentang ini pada 1990-an dan menambahkan Partai Aksi Demokratik (SDA) di Bosnia sebagai contoh partai malang yang lain. Meski berbasis Islam, SDA yang dipelopori Alija Izetbegovic punya platform modern, pluralistik dan toleran. Tapi, Izetbegovic dan partai itu tidak memperoleh dukungan setimpal dari Eropa ketika mereka dirangsek kaum nasionalis sempit Serbia, yang Kristen Ortodoks.

Orang Islam dikritik penuh kekerasan. Namun, jika mereka mencoba jalan non-kekerasan, lewat politik dan pemilihan umum, mereka tetap tak dipercaya. Kasus partai-partai Islam di Aljazair, Turki, Bosnia dan Indonesia menunjukkan hal itu. Barat lebih condong mendukung rezim-rezim sekular otoriter/militeristik di Timur Tengah (dan Indonesia masa lalu) ketimbang memberi kesempatan kepada politisi Islam.

Cara pikir seperti itu, menurut Fealy, harus dikoreksi jika ingin membangun kesepahaman antara Islam dan Barat. Itulah inti pesannya. Barat dan Islam, betatapun punya kepentingan berbeda, bisa bebicara pada platform yang sama: demokrasi. Hubungan Barat dan Islam tidak segelap seperti diramalkan Huntington jika ada kesediaan bersikap jujur dan fair di kedua pihak.

Friday, April 22, 2005

Lilin Perdamaian untuk Aceh


Demonstrasi pro-perdamaian untuk Aceh - Kampanye Perdamaian Aceh

Thursday, April 21, 2005

Pencabutan Subsidi BBM dan Kapitalisme Semu

Salah satu argumen terpenting yang diajukan para pendukung pencabutan subsidi BBM adalah ini: Harga minyak di pasaran dunia meningkat tajam (kini berkisar US$ 50 dan bahkan tidak mustahil meroket ke US$ 100).

Jika harga minyak naik maka demikian pula dengan besaran subsidi. Ini sangat logis. Menurut pemerintah, karena kenaikan itu pemerintah kini harus mengeluarkan lebih dari Rp 70 trilyun untuk subsidi minyak.

Meski masih anggota OPEC, Indonesia memang bukan lagi "eksportir minyak". Justru tak diuntungkan oleh kenaikan harga minyak.

Indonesia masih menjadi eksportir minyak mentah. Namun pada saat yang sama menjadi importir minyak olahan. Harga minyak olahan lebih mahal dari minyak mentah, sehingga dinilai dari uangnya (bukan volume minyak), Indonesia kini net-importer (pengimpor minyak).

Ini memang ironis. Selama puluhan tahun, ketika minyak masih berlimpah, Indonesia (Pertamina) gagal membangun instalasi pengolahan sehingga tak bisa menangguk keuntungan dari naiknya harga minyak dunia sekarang. Kini, setelah minyak habis, Indonesia harus gigit jari. Ini kesalahan Orde Baru yang terpenting dalam kebijakan migas dan iklim korupsi yang mengikutinya. Bukan kesalahan Pemerintahan Yudhoyono.

Dalam jangka panjang, terutama jika harga minyak justru cenderung naik, subsidi minyak memang akan melangit dan menggerogoti keuangan pemerintah. Jawaban logis pemerintah: mengurangi atau bahkan menghapus subsidi minyak.

Nampaknya logis. Tapi jawaban ini adalah jawaban mau enaknya sendiri, membebankan tanggungjawab pemerintah kepada rakyat.

Di mana-mana, tugas pemerintah adalah memberi subsidi (kata lain dari fasilitas dan kemudahan) kepada rakyatnya. Kata "memberi" bahkan cenderung menyesatkan. Sebagian besar pemasukan pemerintah Indonesia kini berasal dari pajak (sekitar 80%). Jadi pemberian subsidi bukanlah sikap Sinterklas. Pemerintah hanya menyalurkan kembali apa yang sudah diberikan rakyat melalui pajak.

Ada berbagai macam subsidi. Ada pula berbagai sifat subsidi. Tax holiday, misalnya, yang diberikan kepada perusahaan yang mau berinvestasi di sektor sosial seperti pendidikan dan kesehatan, adalah bentuk subsidi. Di Amerika orang mengenal social security, jaminan sosial (biaya hidup kita ditanggung negara jika kehilangan pekerjaan dan jika jatuh miskin). Subsidi pertanian di Amerika dan Eropa termasuk tinggi.

Dalam dunia perbankan kita dulu mengenal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI - yang pada dasarnya subsidi juga, diberikan pada industri perbankan). Bentuk subsidi lain: penjaminan bank. Jika sebuah bank ditutup karena bangkrut, meski bank itu bank swasta, pemerintah akan membayar dana nasabahnya--dan itulah yang terjadi sejak 1998 hingga kasus penutupan Bank Global belum lama ini.

Subsidi BBM sekarang (Rp 70 trilyun) sangat kecil dibanding subsidi yang diberikan kepada sektor perbankan swasta. Dana publik dipakai untuk subsidi swasta (segelintir konglomerat dan orang-orang kaya yang punya deposito di bank). Dan dalam jumlah yang sangat besar.

Pada 1998, dengan restu IMF, rakyat Indonesia dipaksa membeli perusahaan-perusahaan bangkrut milik konglomerat. Caranya? Pemerintah mengeluarkan surat utang (obligasi) dengan nilai Rp 700 trilyun lebih. Siapa membayar utang itu? Publik, kita semua, tak peduli kaya atau miskin.

Pemerintah, melalui BBPN, memang menguasai aset perusahaan swasta yang kemudian dijual. Tahun lalu, ketika BPPN dibubarkan, kita tahu nilai aset yang bisa dikembalikan kurang dari 30%--itupun belum dikurangi ongkos operasi BPPN yang aduhai. Tambah ironis, beberapa perusahaan BPPN yang sudah sehat setelah disuntik dana masyarakat, dijual kepada swasta lagi (dalam beberapa hal pemilik lama) dengan harga murah.

Publik dirugikan berlapis-lapis. Dan nilai kerugian mencapai ratusan trilyun--jauh lebih besar dari subsidi BBM pada tingkat sekarang.

Subsidi BLBI dan bail-out perusahaan swasta pada 1998 adalah subsidi langsung, yang hanya dinikmati segelintir orang meski nilainya ratusan trilyun. Sementara subsidi BBM adalah subsidi tak langsung. Minyak adalah komoditas strategis, yang gejolak harganya mempengaruhi berbagai sektor sekaligus. Subsidi minyak bukan subsidi langsung: bukan minyak itu sendiri yang dikirimkan langsung ke rumah-rumah kita. Subsidi minyak, karena perannya yang strategis, adalah peredam kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dan layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Jika subsidi dihapus, dan harga barang serta jasa naik, maka rakyat akan kehilangan daya beli, khususnya rakyat di kalangan miskin.

Pemerintah kini berusaha mengubah subsidi tak langsung itu menjadi subsidi langsung. Argumennya: subsidi BBM yang tidak langsung dinikmati orang-orang kaya yang bermobil dan secara intensif menggunakan listrik (dari BBM juga). Dana kompensasi BBM adalah bentuk subsidi langsung itu (beras miskin, kesehatan gratis, beasiswa untuk orang miskin). Ini oke saja, tapi ada dua pertanyaan penting:

1. Bagaimana orang miskin didefinisikan? Seberapa banyak mereka? Hanya 13%? Bagaimana dengan 50% orang yang mendekati miskin (berpenghasilan di bawah US$ 2)?

2. Di mana saja meraka? Punyakah pemerintah alamat mereka? Pertanyaan ini relevan karena dana kompensasi adalah subsidi langsung, dari pintu ke pintu. Bagaimana mendistribusikannya secara efektif dan tanpa ada penyunatan?

Memang ada unsur ketidakadilan dalam subsidi BBM. Orang kaya menggunakan BBM lebih banyak dari orang miskin. Ketidakddilan itu harus dikoreksi. Tapi, haruskah dengan menghapus seluruh subsidi? Bukankah ada cara lain: kenakan pajak yang lebih besar kepada orang kaya, pada mobil yang dipakai dan setiap perangkat elektronik mereka. Mengingat jumlah orang miskin jauh lebih banyak dari orang kaya, mana lebih masuk akal: menarik pajak orang kaya atau mendistribusikan subsidi langsung kepada orang miskin?

Jika mengurus bantuan langsung ke Aceh dan Nias dengan target dan jenis bantuan yang jelas saja tidak becus, bagaimana menyalurkan bantuan kepada puluhan juta orang miskin...

Dengan menghapus subsidi BBM dan membiarkan negara tetap membayar utang obligasi rekap perbankan, Pemerintah Yudhoyono telah memilih untuk berpihak pada orang-orang kaya.

Orang mengatakan ini merupakan konsekuensi dari kapitalisme. Keliru. Di negeri kapitalis Amerika dan Eropa, hal seperti ini tidak terjadi. Subsidi untuk orang miskin dan sektor pertanian di sana tergolong tinggi. Hampir mustahil bisa kita temukan pula di negeri-negeri kapitalis itu praktek busuk: betapa dengan mudah utang swasta dialihkan menjadi utang publik. Penjaminan dan bail-out terhadap perusahaan/utang swasta hanya dimungkinkan melalui perdebatan publik yang luas, bahwa itu memang mengandung kepentingan publik.

Sebaliknya dari menguntungkan publik, bail-out terhadap perusahaan swasta di Indonesia telah menyumbang secara signifikan jumlah utang yang harus dibayar publik. Pengeluaran negara untuk pembayaran utang sampai sekarang mencapai 36% (lebih dari Rp 100 trilyun) dari pengeluaran pemerintah--jenis pengeluaran terbesar. Dengan proporsi pengeluaran untuk membayar utang, pemerintah hanya sedikit menyisakan uang untuk pembangunan infrastruktur dan layanan sosial.

Dalam situasi seperti itu, untuk menyeimbangkan penerimaan dan pengeluaran negara, Pemerintah Yudhoyono punya banyak tugas dan tanggungjawab, yang semestinya dia sadari ketika berkampanye menjadi presiden.

1. Mengurangi derajat korupsi di kalangan birokrat.
2. Meningkatkan manajemen dan profesionalisme dalam penarikan pajak.
3. Menegosiasi utang luar negeri yang gila jumlahnya.
4. Membenahi BUMN yang korup, yang menyedot 20% pengeluaran negara.
5. Memikirkan strategi pembangunan ekonomi yang lebih masuk akal dan mempertimbangkan secara serius kalangan miskin.
6. Kreatif dan imajinatif mencari sumber-sumber daya baru untuk diolah dan dijual ke pasar internasional (dua pertiga negeri kita adalah perairan dengan kekayaan luar biaya yang belum dieksplorasi)
7. Membangun sistem transportasi publik yang efisien, murah dan nyaman, sehingga mengurangi orang berlomba-lomba membeli mobil pribadi yang boros BBM.
8. Memperkuat pemupukan modal sosial melalui pendidikan dan kesehatan yang berkualitas namun murah. Kini rumah sakit dan sekolah justri diprivatisasi secara radikal sehingga makin sulit dijangkau kalangan miskin.

Semua itu membutuhkan tenaga dan pikiran yang prima, juga dukungan politik yang luas. Pemerintah Yudhoyono tak hanya malas berpikir tapi justru meyepelekan dukungan politik publik: dia bilang "I don't care!"

Pemerintah Yudhoyono malas berpikir dan kurang keras menuntut diri sendiri. Dia menyerahkan beban kepada masyarakat. Jika itu rumusnya: siapa saja akan senang jadi presiden.

Lebih menjijikkan jika sikap seperti itu justru didukung oleh kalangan akademisi, cendekiawan dan budayawan seperti yang digalang Freedom Institute.***

Thursday, April 14, 2005

Andai Saya Presiden Yudhoyono

Saya akan menunda pencabutan subsidi minyak dan serius berjuang menghapus utang Indonesia.

Oleh Farid Gaban | Kantor Berita Pena Indonesia

Ditemani secangkir english breakfast dan dua keping roti bakar isi kacang, saya meluangkan waktu 40 menit duduk sendirian pagi ini di beranda istana kepresidenan. Saya minta kepala rumah tangga istana membawakan buku laporan mutakhir UNDP--Badan PBB untuk Program Pembangunan. Dua puluh menit saya perlukan untuk membaca laporan itu, dan 20 menit sisanya untuk merenung.

Saya baru sadar laporan UNDP itu berisi rekomendasi penting. Judulnya “The Economic of Democracy: Financing Human Development in Indonesia”. Ada tabel dan data yang mendukung argumen di situ. Tapi, khusus untuk bagian ini, saya minta nanti Ketua Bappenas Sri Mulyani atau Menteri Koordinator Ekuin Aburizal Bakrie membacanya. Mereka lebih akrab dengan angka-angka.

Saya menyesal ketika laporan itu terbit pertengahan tahun lalu tak sempat membacanya, atau mungkin sempat membaca sekilas tapi lupa isinya. Waktu itu, saya sibuk mempersiapkan kampanye presiden. Kampanye yang penting. Indonesia menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kali. Dan kini saya bersyukur memperoleh mandat besar yang bersejarah itu.

Secara ringkas buku ini mengusulkan agar pemerintah Indonesia memperbesar dua kali lipat pengeluarannya untuk kesejahteraan sosial. Laporan itu datang dengan kalkulasi dan angka. Pemerintah, kata mereka, memerlukan Rp 103,7 trilyun atau sekitar 6% dari pendapatan kotor domestik (GDP) untuk belanja sosial. Belanja ini sangat penting untuk menjamin rakyat kebanyakan memperoleh layanan dasar pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan dan keamanan fisik.

Itu bukan jumlah uang sedikit. Dan ekonomi negeri kita masih jauh dari pulih sejak Krisis 1998, yang mempersempit kemampuan pemerintah menyisihkan anggaran baru.

Tapi, buku itu benar, pembangunan modal manusia ini sangat penting. Setelah reformasi, rakyat Indonesia memperoleh kemerdekaan dan demokrasi politik. Namun, demokrasi sosial-ekonomi masih jauh dari jangkauan. Rakyat kini memang bisa memilih lebih banyak partai dan calon presiden, namun tak banyak pilihan bagi mereka untuk mendapatkan akses pada layanan dasar sosial-ekonomi karena terlalu miskinnya mereka. Di mana-mana saya mulai mendengar orang kecewa dengan politik, karena reformasi politik ternyata tak membawa kesejahteraan. Makin banyak orang kini merindukan hadirnya kembali Orde Baru. Ini pertanda buruk bagi demokrasi. Meski saya menghormati Presiden Soeharto, saya harus akui banyak kekeliruan telah dibuat pemerintahnya.

Saya sadar, tanpa memperbaiki tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi, demokrasi politik akan terancam. Padahal demokrasi politik itulah yang telah berjasa mengangkat saya ke kursi presiden.

Namun, pemupukan modal sosial, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan, tak hanya penting bagi demokrasi. Dalam tataran praktis, modal sosial diperlukan untuk menjamin pertumbuhan ekonomi. Indonesia adalah satu-satunya negeri Asia yang belum pulih dari Krisis 1998. Pertumbuhan ekonominya tersendat, antara lain karena rendahnya mutu sumber daya manusia di sini.

Lebih dari segalanya, akses pada kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan dan pangan, adalah hak rakyat yang asasi, yang menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhinya. Hak rakyat itu dilindungi konstitusi. Saya akan mudah dituduh inkonstitusional jika tak mampu menyediakannya.

***
ORANG MISKIN MENYUAP UNTUK MEMPEROLEH HAKNYA YANG DASAR
***

Membaca buku laporan UNDP itu saya sadar betapa ironisnya kita. Bahkan di masa Orde Baru, yang dikenal zaman pembangunan, belanja sosial di Indonesia jauh lebih kecil dibanding banyak negeri Asia-Pasifik. Prosentase anggaran kesehatan dan pendidikan terhadap GDP di Indonesia jauh lebih kecil dari Vietnam, dan hanya separo Srilanka. Setelah krisis, ketika keuangan negara menciut sangat cekak, nilai belanja sosial ini turun 40%.

Para ekonom neoliberal memang mengatakan pemerintah hanya perlu membangun iklim makroekonomi yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi. Sektor swastalah, kata mereka, yang kelak bisa membiayai belanja sosial. Mereka hanya benar sebagian.

Pada kenyataannya, pengeluaran swasta untuk sektor pendidikan dan kesehatan memang jauh lebih besar dari pengeluaran pemerintah yang hanya sekitar 20%. Tapi, menurut UNDP, ini mengandung bahaya. Pengeluaran swasta cenderung dimanfaatkan oleh orang kaya, sementara orang miskin akan gigit jari. UNDP datang dengan data mengerikan bahwa banyak orang miskin harus menyuap untuk memperoleh layanan dasar kesehatan.

Saya merasa telah tertipu pemandangan gemerlap Jakarta. Gedung mewah di Jalan Sudirman-Thamrin ternyata hanya fatamorgana. Pertumbuhan ekonomi tinggi semasa Orde Baru memang mengurangi jumlah kemiskinan absolut. Tahun ini jumlah mereka masih sekitar 18%, atau 36 juta orang. Tapi, data itu juga hanya sedikit bercerita. Dalam jumlah sangat besar, sekitar separoh penduduk Indonesia hidup hanya sedikit di atas garis kemiskinan.

Saya tidak tahu apa komentar Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie nanti. Tapi, saya sendiri merasa merinding membaca laporan itu, dan merasa sangat bersalah telah mencabut subsidi minyak beberapa pekan lalu. Lebih dari 100 juta rakyat Indonesia sangat rentan ekonominya. Sewaktu-waktu mereka bisa jatuh miskin jika ada lonjakan harga kebutuhan pokok. Akibat pencabutan subsidi minyak, jelas makin sedikit uang yang bisa mereka sisihkah untuk membiayai sekolah anak atau berobat ke puskesmas. Kristiani Herrawati, istri saya, tahu persis hal itu.

Saya malu bahwa pemerintah hanya sedikit sekali bisa membiayai investasi sosial mereka, bahkan sebelum pencabutan subsidi. Kini saya sadar kompensasi pencabutan subsidi minyak itupun sangat kecil. Cuma Rp 17 triyun, atau kurang dari seperlima yang diusulkan UNDP. Padahal, usulan itupun hanya agar anggaran sosial kita setara dengan Srilanka. Jangan kata Malaysia.

Saya tidak paham kenapa tiga pemerintahan setelah krisis—-Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri—-tidak mengoreksi pola pikir Pemerintahan Orde Baru itu, yang keblinger mengabaikan pemupukan modal sosial. Tempo hari kami memang merevisi anggaran yang dibuat Pemerintahan Megawati. Tapi, saya menyesal kenapa kami hanya merevisi asumsi harga minyak dan tidak melakukan revisi yang lebih mendasar untuk memberikan prioritas pada pembangunan sosial.

***
NEGERI PARADOKS BERNAMA INDONESIA
***

Masalahnya, bagaimana mungkin saya bisa menyediakan anggaran sosial sebesar seperti diusulkan UNDP itu di tengah kesulitan keuangan negara? Haruskah memperbesar pengeluaran dengan menoleransi risiko defisit seperti disarankan UNDP?

Berlawanan dengan saran IMF dan para ekonom neoliberal, banyak negara memang memilih menaikkan pengeluaran, hingga defisit, ketimbang menyengsarakan rakyatnya yang dilanda krisis. Amerika Serikat salah satu contohnya. Tapi, saya tak ingin melakukan itu. Saya setuju dengan pandangan kaum neoliberal dalam soal anggaran berimbang ini. Kristiani, istri saya, juga tahu bahwa “tak boleh besar pasak daripada tiang” ketika mengelola uang keluarga. Sama halnya untuk uang negara.

Saya harus memilih mengurangi pos-pos pengeluaran lain dan mengalihkannya untuk membiayai pemupukan modal sosial. Pos mana saja yang bisa saya kurangi?

Saya teringat berapa besar dana yang kita keluarkan setiap tahun untuk mensubsidi perusahaan negara, yakni sekitar 20% dari pengeluaran. Tapi, angka ini lebih kecil dari uang untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang negara.

Ya, utang negara! Paradoks dengan Jaguar dan Lexus yang saya lihat hilir-mudik di Segitiga Emas Jakarta, Indonesia adalah salah satu negeri terbangkrut dan penghutang terbesar di dunia. Setelah krisis, utang negara sempat membengkak menjadi US$ 130 milyar, atau 90% dari GDP.

Saya sadar, dengan utang sebesar itu Indonesia sudah masuk kelompok negeri paling berat beban utangnya--heavily indebted poor countries (HIPC). Indonesia satu kelas dengan negeri Afrika seperti Ethiopia, Mali, Angola dan Benin, yakni negeri-negeri yang rasio utangnya terhadap ekspor lebih dari 150% dan rasio bunga utang terhadap ekspor lebih dari 15%.

Pada 1998, rasio utang Indonesia terhadap ekspornya jauh melampaui standar itu, mencapai 252%, dan rasio bunga utangnya terhadap ekspor mencapai 33%!

Indonesia sudah tercekik utang. Dana publik yang harus saya sisihkan untuk membayar utang setiap tahun mencapai 30-40% dari total pengeluaran, jauh melebihi pos pengeluaran apapun. Tanpa koreksi, mustahil kita bisa menyisihkan anggaran untuk program sosial yang penting, terutama bagi kalangan miskin dan hampir-miskin.

Bagaimana mungkin fakta setelanjang itu lupa direnungkan Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie?

***
MENGGALAKKAN DIPLOMASI PENGHAPUSAN UTANG
***

Kini saya harus mengubah arah: memberi prioritas tinggi untuk menuntut pengurangan utang, agar bisa menyisihkan anggaran lebih banyak untuk belanja sosial. Saya tak puas hanya menerima moratorium utang Paris Club sebesar Rp 20 trilyun, yang pekan ini disetujui dan diumumkan Ketua Bappenas Sri Mulyani. Moratorium hanya berarti penundaan pembayaran, bukan penghapusan.

Ketimbang setuju saja nasehat para ekonom neoliberal, yang selalu menakut-nakuti saya soal konsekuensi tuntutan penghapusan utang, saya akan berkunjung ke Argentina dalam waktu dekat. Saya akan meminta saran Presiden Nestor Kirchner bagaimana resep mengurangi utang. Membantah mitos kaum neoliberal, awal Maret ini Argentina berhasil menghapus utang negara senilai lebih dari Rp 600 trilyun, atau sepertiga dari total utangnya.

Berlawanan dengan mitos kaum neoliberal, credit rating Argentina justru meningkat setelah penghapusan sebagian utangnya. Dan sementara Indonesia masih menderita outflow investasi ke luar negeri, Argentina justru mulai kebanjiran investor--menyangkali mitos neoliberalisme yang lain.

Indonesia memang tak bisa persis meniru Argentina, tapi saya ingin belajar tentang semangat yang melatarbelakanginya. Saya baca di koran, Presiden Kirchner dengan lantang berani mengatakan kepada para kreditor: “Kami tak sanggup lagi membayar utang,” katanya. “Kami hanya bisa membayar utang dengan terus-menerus memiskinkan rakyat kami—suatu hal yang tak ingin kami lakukan.” Presiden Hector tak hanya berhasil mengurangi beban utang negara. Dia juga sukses membangun kontrak sosial baru dengan kalangan legislatif dan publik pemilihnya.

Dari Argentina, saya akan terbang ke Eropa. Di London saya akan bertemu Perdana Menteri Tony Blair. Saya akan mengucapkan terima kasih bahwa pemerintahnya sangat mendukung penghapusan utang negara miskin. Meski harus melawan Amerika, Menteri Keuangan Inggris Gordon Brown gigih mengajak negeri industri maju menghapus total utang Afrika. Kunjungan saya akan merupakan pernyataan moral penting bahwa usul mulia itu harus digaungkan lebih keras lagi, dan juga mencakup penghapusan utang Indonesia yang selangit.

Saya akan minta Menko Ekuin Aburizal Bakrie mampir ke Brussels, membawa serta tiga staf ahlinya--Rizal Mallarangeng, Chatib Basri dan Lin Che Wei. Mereka saya minta mengunjungi markas Eurodad, European Network on Debt and Development, sebuah lembaga swadaya masyarakat. Delegasi Bakrie itu juga perlu menyampaikan ucapan terima kasih pemerintah Indonesia. Eurodad telah berjasa terus-menerus, tanpa diminta, mengkampanyekan penghapusan utang Indonesia.

Dua tahun lalu, Eurodad membuat laporan menarik dengan judul “Towards a Sustainable Debt Workout for Indonesia”. Juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng akan saya minta mengambil laporan itu dari internet dan menyebarkannya kepada para anggota kabinet serta rekan-rekan saya di badan legislatif agar kami bisa memperoleh pemahaman yang sama terhadap soal serius ini.

Eurodad menyimpulkan bahwa model moratorium utang seperti sekarang, yang resepnya disodorkan Bank Dunia, hanya sedikit saja bisa membantu kita. Indonesia satu-satunya negeri Asia yang belum pulih dari krisis ekonomi tujuh tahun lalu. Meski sudah mengabaikan belanja sosial, Indonesia takkan bisa bertahan menyelesaikan utangnya dengan resep Bank Dunia. Eurodad mengusulkan pemangkasan separoh dari total utang luar negeri agar Indonesia bisa menyisihkan dana cukup untuk mengurangi kemiskinan dan memupuk modal sosial. Kreditor multilateral Paris Club, menurut Eurodad, harus melupakan 79% utang Indonesia.

Saya akan meniru semangat Presiden Argentina Nestor Kirchner, memberi empati lebih besar kepada rakyatnya yang miskin ketimbang kepada lembaga-lembaga keuangan internasional yang sudah gemuk koceknya. Sikap nasionalis dan patriot sejati. Penghapusan utang memerlukan kerja keras dan dukungan luas, nasional maupun internasional. Saya perlu membangun kontrak sosial baru dengan publik pemilih, yang sekarang kecewa karena penghapusan subsidi minyak.

Sambil menyeruput tetes terakhir english breakfast, saya sadar hanya dengan itulah janji kampanye saya untuk perubahan dan demi kesejahteraan rakyat miskin tidak kedengaran seperti retorika belaka.

Tuesday, April 12, 2005

500 Orang Tandatangani Petisi Tuntutan Perdamaian di Aceh

Jakarta, 11 April 2005 - Menyambut perundingan damai Indonesia-Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia, pekan ini, lebih dari 500 orang Indonesia dari berbagai penjuru negeri dan dunia menandatangani Petisi "Peace for Aceh". Petisi ini berisi desakan agar pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sesegera mungkin mewujudkan perdamaian di Aceh.

"Rakyat Aceh, khususnya anak-anak, tak boleh lagi menjadi pelanduk di tengah desingan teror dan peluru," demikian bunyi petisi yang ditandatangani tersebut. "Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka harus memanfaatkan pertemuan Helsinki sebaik-baiknya untuk menemukan kompromi guna mewujudkan perdamaian komphrehensif dan lestari." (Petisi dan Daftar Penandatangan Terlampir)

Petisi tersebut dikirimkan kepada Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Panglima TNI Endrartono Sutarto, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Kapolri Da'i Bachtiar, Ketua MPR Hidayat Nurwahid, Ketua DPR Agung Laksono, para anggota Komisi I (Pertahanan) DPR-RI, pimpinan partai-partai politik, Perdana Menteri The State of Acheh Malik Mahmud (Stockholm, Swedia), serta mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari (mediator perundingan damai).

Untuk mendesakkan perdamaian yang lama dirindukan rakyat sipil Aceh, setiap Sabtu malam sejak 19 Februari 2005 sebagian penandatangan petisi juga melakukan demonstrasi dengan menyalakan lilin di Bunderan Hotel Indonesia, Jakarta.

Pekan ini, para wakil Indonesia dan GAM bertemu di Helsinki untuk melakukan perundingan damai putaran ketiga. Bencana kolosal tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, menurut para pendantanganan, mestilah menjadi momentum penting bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mewujudkan di Aceh.

Perdamaian semestinya menjadi prasyarat utama sebelum orang membicarakan lebih jauh pembangunan kembali Aceh. Gempa dan tsunami telah menewaskan 230.000 orang dan membuat ratusan ribu lainnya kehilangan rumah, serta kota dan desa luluh-lantak, baik secara fisik, sosial maupun ekonomi. Tanpa perdamaian, pemulihan fisik tidak akan banyak memberi manfaat kepada rakyat Aceh.

Selama 30 tahun terakhir, rakyat Aceh ibarat pelanduk yang terjepit baku-tembak aparat keamanan Indonesia (TNI dan Brimob) dan GAM. Jauh sebelum tsunami, banyak orang Aceh telah menderita. Sekitar 15.000 tewas akibat konflik bersenjata di sana dalam 30 tahun terakhir. "Anak-anak tidak tenteram belajar, ayah dan ibu tak bisa mencari nafkah dengan baik, tidak ada pengusaha yang mau berinvestasi di sana untuk bisa menyediakan lapangan kerja," demikian antara lain bunyi petisi.