Monday, June 21, 2004

Tragedi Nirmala Bonat

Kasus penganiayaan terhadap Nirmala Bonat hanya puncak
gunung es dari problem yang dihadapi tenaga kerja
Indonesia di luar negeri. Dan meski penganiayaan itu
melibatkan unsur kriminal majikannya di Malaysia,
problem utama sebenarnya terletak pada Pemerintah
Indonesia—-khususnya Departemen Tenaga Kerja dan
Departemen Luar Negeri. Kinerja Pemerintah Indonesia
dalam melindungi warga negaranya yang berkeja di luar
negeri masih terlalu minimal.

Kasus Nirmala mendominasi pemberitaan media baik di
Malaysia maupun Indonesia akhir pekan ini. Koran di
Malaysia sendiri menyebut ini sebagai salah satu kasus
paling brutal yang menimpa tenaga kerja asal
Indonesia.

Kasus ini menarik mengingat peristiwanya terungkap
hanya dua pekan setelah Menteri Tenaga Kerja Indonesia
Jacob Nuwa Wea menandatangani nota kesepahaman dengan
rekannya dari Malaysia, Datuk Wira Fong Chan Oan,
tentang penempatan tenaga kerja Indonesia di Malaysia.
Nota kesepahaman itu dianggap sebagai “landmark”, atau
sebuah perjanjian penting, yang meliputi perlindungan
lebih baik terhadap tenaga kerja kita.

Kita berharap nota kesepahaman itu bisa memberi
keadilan kepada Nirmala, dan mencegah peristiwa serupa
berulang. Namun, upaya jauh lebih besar nampaknya
harus dilakukan pemerintah dari sekedar membuat
perjanjian bilateral dan menuntut negeri lain
melindungi tenga kerja kita. Tanggungjawab utama
perlindungan tenaga kerja terletak pada pemerintah
kita sendiri—-eksekutif maupun legislatif. Beberapa
kasus belakangan ini menunjukkan pemerintah belum
berbuat serius.

Pengakuan Nirmala menunjukkan bahwa layanan yang
paling dasar pun sebenarnya belum dipenuhi. Nirmala
mengaku telah memperoleh pengakuan buruk sejak
beberapa bulan lalu, namun “tidak tahu kemana harus
mengadu”. Ini artinya dia, dan juga banyak tenaga
kerja lain, tidak dibekali pengetahuan dasar yang
memadai tentang hak-haknya sebelum berangkat.

Jangankan pengetahuan dasar. Kasus lain menunjukkan
bahwa instansi yang paling berwenang, yakni Direktorat
Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum
Indonesia, Departemen Luar Negeri, tidak punya pusat
informasi dengan data akurat tentang tenaga kerja ini.
Keterlambatan selama berbulan-bulan pengiriman dua
jenasah tenaga kerja Indonesia yang meninggal di
Yordania adalah buktinya.

Lapangan kerja di luar negeri jelas membantu
Pemerintah Indonesia yang kini dihadapkan pada
tinggginya tingkat pengangguran di dalam negeri.
Tenaga kerja yang keluar juga menjadi sumber devisa
lewat pajak yang disedot dari keringat mereka. Meski
mereka umumnya pekerja rendahan, menjadi pembantu
rumah tangga misalnya, mereka sebenarnya layak disebut
pahlawan. Tapi, perlakukan pemerintah kita terhadap
mereka masih sangat buruk.

Tidak hanya pemerintah dari sayap eksekutif yang harus
bekerja keras. Para anggota dewan pun mesti lebih
peduli. Para wakil rakyat itu mesti segera menuntaskan
pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri. Selama ini,
pengaturan pengaturan penempatan mereka hanya
didasarkan pada Keputusan Menteri atau perjanjian
bilateral setingkat menteri belaka.***