Thursday, May 11, 2006

Tempo Membayar Utang dan Berutang Lagi

Pada Oktober 2005, teman saya Andreas Harsono mengirim sebuah berita Majalah Tempo ke Milis Pantau-Komunitas. Judul berita itu: "Confessions of a Freelance Mujahid". Berita itu seolah-olah berisi pengakuan seorang teroris bernama Abdullah Sunata yang punya rencana membunuh tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar-Abdalla.

Sempat ada sedikit perdebatan antara saya dan Andreas kala itu. Saya mencoba melihat berita itu secara kritis, sementara Andreas memilih menghindar dari memberi komentar terhadap artikel yang problematik ini.

Berita yang ditulis Nezar Patria itu (Tempo, No. 07/VI, Oct 18-24, 2005), menurut saya, jauh di bawah standar jurnalistik yang lazim dan tidak ketat dalam menerapkan standar peliputan.

Berita itu juga cenderung menyesatkan pembaca, sebab seolah-olah Tempo menerima pengakuan secara langsung dari "sang teroris" dan bahwa rencana membunuh Ulil memang benar adanya.

Lebih fatal, berita itu bersifat menghakimi secara sepihak orang yang tak berdaya (dalam penjara). Bayangkan jika Abdullah Sunata adalah orang yang berkuasa; akankah Tempo berani menulis seperti itu tanpa berisiko digugat seperti dalam kasus Tomy Winata?

Tempo diuntungkan tidak hanya oleh ketakberdayaan Sunata, tapi juga anggapan umum bahwa Sunata adalah teroris, yang karenaya tak perlu suaranya didengar. Namun, dari segi jurnalistik, saya menganggap, Nezar serta Tempo punya utang kepada Sunata dan pembacanya.

Well, pekan ini, Nezar dan Tempo membayar utangnya. Tempo memuat wawancara khusus Nezar dengan Abdullah Sunata, yang antara lain berisi penjelasan darinya soal tuduhan rencana pembunuhan Ulil itu.

Sunata mengatakan dalam wawancara itu, rencana pembunuhan Ulil diungkapkan oleh seorang saksi yang berada dalam tekanan polisi. Pengadilan Sunata sendiri tidak berhasil membuktikan adanya rencana itu, dan gagal membuktikan bahwa Sunata punya rencana membunuh Ulil, meski mengecam pandangan liberal tokoh JIL ini.

ANGKAT TOPI BUAT NEZAR

Upaya Nezar berkali-kali mewawancara Sunata patut dipujikan. Renungan baliknya sebagai orang yang pernah menjadi korban ketidakadilan dan masuk penjara pada akhir Orde Baru lah yang barangkali mendorong Nezar terpacu untuk membuat klarifikasi lebih berimbang. Saya angkat topi buat Nezar.

Meski begitu, ada sedikit catatan tambahan. Wawancara khusus itu dimuat tujuh bulan setelah berita pertama. Banyak pembaca sudah melupakan "rencana teroris membunuh Ulil" (di tengah arus deras informasi, saya sendiri sudah melupakannya). Tulisan dalam pengantar wawancara itu gagal merujuk secara spesifik artikel yang dimuat pada Oktober 2005.

Isi wawancara Sunata mungkin tidak bisa diterima begitu saja sebagai kebenaran. Tapi, coba bayangkan jika Tempo mau menunggu wawancara terhadap tersangka ini untuk menurunkan berita pertama yang hampir sepenuhnya hanya bersumberkan pada polisi. Pasti akan ada perspektif berbeda.

Perspektif berbeda itu akan memandu kita untuk mengajukan pertanyaan lanjutan:

Apakah benar polisi telah sengaja melakukan frame-up, dan menunjukkan kekhawatiran berlebihan bahwa kaum teroris (atau siapa saja yang dituding teroris) akan membunuhi semua Muslim moderat/sekuler/liberal?

Apakah benar polisi punya motif untuk memperuncing konflik antara kelompok Islam moderat dengan kelompok garis keras, dan memicu spiral kekerasan tak berujung?

Apakah benar polisi mencoba membuat label serampangan bahwa mereka yang terlibat dalam perang agama di Ambon (seperti Sonata) otomatis menyetujui aksi teror di tempat lain di Indonesia?

Apakah benar polisi berbohong? Dan untuk motif apa mereka berbohong?

PELAJARAN TERPENTING

Saya kira liputan Nezar tentang Abdullah Sunata ini memberikan pelajaran terpenting bagi siapa saja yang ingin menulis kasus terorisme di Indonesia.

Pertama: Wartawan harus membuat atribusi fakta yang sejelas-jelasnya (bahwa beberapa statement polisi tidak bisa serta-merta dianggap sebagai FAKTA, melainkan harus dipandang sebagai KLAIM SEPIHAK)

Kedua: Wartawan juga perlu berhenti mengutip SUMBER ANONIM dari kalangan kepolisian (sumber anonim adalah sumber yang tidak bersedia mempertanggungjawabkan informasi/statement-nya)

Ketiga: Wartawan perlu menyadari bahwa polisi bukan pihak yang netral dalam "war on terror". Polisi punya kepentingan, termasuk kepentingan menyesatkan wartawan.

TAPI, APAKAH TEMPO BELAJAR?

Meski Nezar nampak belajar dari kelemahan prosedur jurnalismenya di masa lalu, Tempo secara keseluruhan belum beranjak jauh dari pola peliputan yang keliru tapi dipraktekkan terus-menerus.

Pada berita lain dalam edisi yang sama pekan ini, Tempo menurunkan berita terorisme yang lain, "Berkelit dengan Jejaring Lama", tentang penggerebegan teroris di Wonosobo, Jawa Tengah. (Berita ini dirujuk ke wawancara khusus dengan Sunata).

Dalam berita ini, yang ditulis Budi Setyarso, Tempo masih menggunakan pola-pola lama: begitu banyak sumber anonim, frame-up polisi yang tidak diverifikasi, kejanggalan yang tidak dipertanyakan, dan penghakiman sepihak kepada para tersangka teroris, baik yang mati maupun yang ditangkap.

Tempo belum belajar.

ANTV, Karni dan Eksklusivitas

ANTV dan Karni Ilyas merindukan liputan eksklusif, momentum baru untuk me-relaunch dan me-rebrand stasiun televisi itu, stasiun milik Keluarga Bakrie yang kini sebagian sahamnya dibeli raksasa media Rupert Murdoch. Salah satu liputan eksklusif mutakhir adalah ”penggrebegan teroris” di Wonosobo.

Saya ada di lokasi kejadian beberapa jam setelah penggerebegan (sedang kebetulan pulang ke kota kelahiran saya itu). Melihat lokasi peristiwa, saya segera bisa menyimpulkan betapa ANTV memperoleh privelege sangat besar dalam liputan itu. Dan segera pula muncul pertanyaan di kepala saya: apa yang telah dan akan diberikan oleh ANTV kepada pihak kepolisian sebagai imbalannya?

Rumah "sarang teroris" terletak di pinggir jalan utama yang menghubungkan Wonosobo dengan kota-kota lain seperti Temanggung, Magelang, dan Purworejo. Bus-bus besar jurusan Purwokerto-Wonosobo-Semarang melewati jalan itu.

Mobil studio-mini ANTV (lengkap dengan satelit) persis parkir di seberang jalan, yang membuat stasiun televisi ini paling strategis mengarahkan kamera ke rumah kecil tanpa pagar itu. Mobil itu sudah datang pada malam hari ketika banyak wartawan cetak dan stasiun televisi lain masih terlelap.

Bahkan jika para wartawan lain tahu, mereka takkan bisa memperoleh gambar yang sama, sebab jalan dari arah Magelang maupun dari arah Wonosobo sudah diblokir sejak malam hari. Dan segera setelah penggerebegan usai, rumah itu tak hanya dikelilingi "police line" tapi dipagari dengan tripleks tinggi, tidak memungkinkan wartawan yang datang kemudian memiliki pandangan bebas ke rumah itu, apalagi memasukinya.

Sebuah kerjasama yang manis antara satu stasiun televisi dan aparat kepolisian: gambar eksklusif dan berita besar. Angle kamera yang sempurna dan script cerita yang penuh drama. Benar-benar ”reality show” yang menegangkan.

Jika semua mulus, berita penggerebegan itu akan menjadi berita terbesar sepanjang hari dan keesokan harinya. Tapi, sayang, di luar kendali mereka, marak kerusuhan besar di Tuban yang membuat berita Wonosobo ini tidak terlalu menonjol.

Bagaimanapun, sekali lagi, ANTV dan Karni telah berhasil menunjukkan kekuatan scoop dan gambar yang eksklusif.

APA IMBALANNYA?

Meski mendapat liputan eksklusif, ANTV dan Karni Ilyas kehilangan daya kritis terhadap obyek liputannya. Itu merupakan keniscayaan (atau konsekuensi logis) dari metode jurnalisme yang mereka terapkan.

Sangatlah bisa dipahami jika setiap media, setiap stasiun televisi, berusaha mendapatkan liputan eksklusif. Kebutuhan seperti ini terutama mencolok di era ketika media makin menjadi industri, ketika persaingan mengeras dan ketika rating menjadi sesembahan baru.

Salah satu cara paling ampuh dalam mendapatkan eksklusivitas adalah memelihara hubungan baik dengan "insider" (orang dalam) serta mengail bocoran darinya. Dan dalam soal seperti ini, Karni memang istimewa. Dia sudah menunjukkan reputasinya ketika menjadi redaktur hukum Majalah Tempo, ketika membesarkan Majalah Forum (Keadilan), ketika di SCTV dan ketika kini di ANTV.

Tapi, hubungan baik dengan insider tidaklah gratis; harus ada yang dibayarkan, harus ada yang direlakan: obyektifitas serta daya kritis.

EMBEDDED-JOURNALISM

Sesungguhnya, liputan ANTV tentang "penggerebegan teroris" di Malang dan Wonosobo menggunakan praktek embedded-journalism (atau jurnalisme-melekat).

Meski sedikit lebih canggih, ini tak ada bedanya dengan praktek wartawan Buser atau Sergap yang kadang ikut rombongan polisi menggerebek cafe atau tempat perjudian.

Tak jauh beda pula dengan para wartawan yang ikut rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam lawatan-lawatan ke luar negeri, atau wartawan CNN dan FOX TV yang meliput konflik di Irak dari sudut pandang tentara Amerika.

Embedded-journalism kadang tak terhindarkan. Namun, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan masak sebelum melakukannya:

1. Kita tidak semestinya mencantolkan diri pada salah satu pihak yang terlibat dalam konflik, atau pada pihak yang punya kepentingan terhadap suatu perkara/liputan.

2. Eksklusivitas dan keamanan saja tidak bisa menjadi dalih bagi wartawan untuk mencantol kepada salah satu pihak yang punya kepentingan dalam sebuah perkara. Dalih tetap harus diletakkan pada kepentingan publik untuk mendapat informasi yang lengkap dan berimbang.

3. Jika embedded-journalism tak bisa dihindari, wartawan perlu membuat serangkaian mekanisme yang menjamin agar liputan sepihak ini bisa dinetralisasikan dan dibuat imbang.

4. Jika embedded-journalism tak bisa dihindari, dan keberimbangan sulit diterapkan, wartawan perlu membuat disclosure sejelas-jelasnya bahwa liputan yang dibuat dengan teknik embedded itu memang liputan sepihak sehingga pembaca atau pemirsa tahu persis posisi liputan itu, yang memang tidak dimaksudkan sebagai liputan berimbang.

LIPUTAN DI WONOSOBO

Kembali ke liputan ANTV di Wonosobo, yang pertama-tama dilupakan stasiun televisi itu adalah bahwa polisi bukanlah pihak yang netral dalam kasus terorisme.

• Polisi menjadi satu pihak yang bertikai dalam "war on terror"
• Polisi punya kepentingan untuk memamerkan sukses dalam "perang melawan teror"
• Datasemen anti-teror memperoleh sumbangan dana signifikan dari Pemerintah Amerika
• Beberapa perwira tinggi kepolisian desperate untuk mengalihkan perhatian dari sorotan tuduhan korupsi yang dialamatkan kepada mereka.
• Aparat kepolisian punya kepentingan untuk membuat Abu Bakar Baasyir tetap berada dalam penjara, meski keterlibatannya dalam aksi teror tidak terbukti dalam pengadilan. Setiap ada perdebatan tentang pelepasan Baasyir, yang disebut imam Jemaah Islamiyah, hampir selalu disertai munculnya pola yang khas: penangkapan dan pengegrebekan "teroris".

KEJANGGALAN DAN MISTERI

Kecuali ANTV, tidak ada wartawan lain (termasuk saya), yang punya posisi dan akses yang bagus dalam liputan ini. Tapi, sejauh yang bisa saya lihat dari rekaman liputannya, bahkan ANTV tak bisa masuk ke rumah sarang teroris, apalagi mengetahui kejadian sebenarnya di dalam rumah itu ketika terjadi penggerebegan (posisi kamera ANTV hanya di seberang jalan).

Bagaimanapun sudah jelas ANTV memiliki posisi dan akses yang paling bagus dalam liputan ini dibanding wartawan manapun. Namun menurut saya mereka gagal dalam meliputnya secara komprehensif (apalagi berimbang), sehingga menyisakan sejumlah kejanggalan dan misteri tak terjawab.

1. SEBERAPA SIGNIFIKAN PERISTIWA INI?

Dari dua teroris yang terbunuh dan dua lainnya yang ditangkap, tidak satu pun ada dalam poster buron polisi yang disebarluaskan di seantero Indonesia (akhir pekan ini saya ada di Padang dan melihat poster-poster polisi itu di Bandara Internasional Minangkabau).

2. BENARKAH ADA BAKU TEMBAK?

Meski narasi presenter ANTV mengatakan telah terjadi tembak-menembak pada saat penggerebegan, rekaman liputan langsung ANTV itu sendiri, sejauh yang saya putar berulangkali, tidak menunjukkan ada perlawanan dari dalam rumah.

Beberapa hari setelah penggerebegan, Koran Tempo menulis berita yang meragukan adanya baku-tembak. Orangtua salah satu tersangka yang tewas mengatakan kepada koran itu tentang kejanggalan serius: tidak ada bekas luka tembak pada jenazah anaknya.

Hampir sama kasusnya dengan Azahari, gembong teroris yang dikatakan meledakkan diri, tapi menurut adik kandungnya, utuh tubuhnya dan hanya ada satu tembekan yang tepat mengenai jantungnya.

3. MUSTAHILKAH MENANGKAP TERORIS HIDUP-HIDUP?

Menangkap hidup tersangka teroris sangat penting untuk proses pengadilan yang bisa mengungkap misteri gerakan terorisme selama ini. Tapi, Kapolri mengatakan mereka adalah para teroris berbahaya yang harus digerebeg dengan kekerasan, yang tak terhindarkan menyebabkan kematian para tersangka.

Keterangan Kapolri kurang masuk akal dilihat dari pernyataan polisi yang lain.
Pejabat kepolisian mengatakan telah memonitor rumah itu selama beberapa pekan (bahkan tiga bulan). Berita di beberapa koran juga menunjukkan, kepolisian mengaku sudah tahu jauh hari sebelumnya bahwa memang tidak ada Noordin Top ada di rumah itu.

Rumah itu bersebelahan dengan rumah yang ditempati agen Bus Damri. Tak ada pagar yang memisahkan dua rumah sebelah-menyebelah itu. Sugiyono, salah satu karyawan agen Damri, mengatakan sudah lama mengenal para penghuni rumah ”teroris". Sugiyono juga mengaku sering masuk rumah itu untuk meminjam WC dan kamar mandi para ”teroris”. Mudah untuk menyimpulkan bahwa ini rumah yang terbuka bahkan bagi orang asing.

Bukankah dengan metode sederhana, polisi bisa menyelundupkan orang ke situ dan membekuk "para teroris" hidup-hidup?

4. MENGAPA TIDAK DIBEKUK MALAM HARI?

Kamar yang sering diinapi Sugiyono terletak di lantai dua agen Bus Damri. Kamar ini merupakan tempat yang strategis untuk menembak serta melempar granat dan gas airmata ke rumah sebelah. Sehari sebelum penggerebegan, polisi meminta Sugiyono pergi. Beberapa anggota datasemen anti-teror menggantikan posisinya.

Bukankah polisi bisa menggerebeg rumah itu pada malam hari dan membekuk para penghuninya dengan potensi kematian minimal? Bukankah polisi punya peralatan infra-merah yang canggih?

Tapi jelaslah kamera ANTV tak bisa bekerja di malam gelap. Penggerebegan dilakukan setelah matahari terbit sehingga ANTV bisa meliputnya secara ”live”. Sekali lagi, sebuah sajian ”reality show” yang sempurna.

KESIMPULAN

ANTV mendapatkan gambar eksklusif tapi lupa akan kewajibannya untuk meliputnya secara komprehensif, kehilangan daya kritis untuk mempertanyakan kejanggalan, dan bahkan (mudah-mudahan saya keliru) terjebak dalam konspirasi bersama polisi untuk menyesatkan publik dalam kasus terorisme ini.

ANTV mendapatkan liputan eksklusif yang sangat dibutuhkan untuk menancapkan posisinya di tengah persaingan ketat stasiun televisi. Tapi, siapakah yang membayar?

Pada sore hari setelah pengerebegan, ANTV mencoba membuat liputan lebih komprehensif, dengan menyertakan kilas-balik aksi teror di Indonesia. Tujuannya barangkali memberi konteks pada peristiwa pagi harinya. Namun, konteks yang diberikan inipun tetap one-sided, yakni cerita terorisme versi polisi (yang sebagian besar “unverified” atau “yet-to-be-verified”).

Semua tersangka di rumah itu dikatakan terlibat dalam berbagai aksi teror yang terpisah-pisah dan dalam periode yang berbeda (Bom Marriot, Bom Kuningan, Bom Natal), namun kini dibingkai dalam sebuah simpul yang satu: Noordin M. Top (dulu Azahari).

Melihat liputan sore ANTV itu, para pemirsa digiring untuk memahami dan mengerti kenapa polisi "terpaksa" mengeksekusi mati para tersangka teroris tanpa pengadilan. Pemirsa juga diajak untuk tidak punya perasaan dan empati terhadap keluarga orang-orang yang disangka (belum terbukti) teroris ini.

Salah satu yang ditangkap sehari-hari berjualan jagung rebus, beranak empat, satu diantaranya lumpuh.*

Sunday, October 16, 2005

Lomba Kebodohan

Para menteri Kabinet Yudhoyono berlomba-lomba membuat pernyataan untuk menjustifikasi pencabutan subsidi bahan bakar dramatis belakangan ini. Tapi, jauh dari menyejukkan, banyak pernyataan itu menunjukkan sikap tidak sensitif terhadap krisis yang dihadapi rakyat kebanyakan, bahkan cenderung menggelikan.

Sebagai contoh, Menteri Kehutanan MS Kaban akhir pekan ini mengatakan bahwa hutan Indonesia akan habis dalam 15 tahun akibat penebangan liar dan kerusakan. Namun, kata dia, kenaikan harga bahan bakar ada dampak positifnya bagi kelestarian hutan. Tak bisa membeli minyak tanah, kata dia, rakyat akan memanfaatkan kayu hutan untuk bahan bakar. "Akan muncul kesadaran, rakyat harus menanam pohon yang kayunya untuk bahan bakar,” katanya.

Kebutuhan kayu bakar akan seketika, sementara penanaman pohon membutuhkan waktu tahunan. Menteri Kehutanan tidak ingin melihat fenomena bahwa kemiskinan akan punya korelasi kuat justru dengan kerusakan hutan, dan bukan sebaliknya.

Menteri Koperasi dan UKM Suryadharma Ali mengakui kenaikan harga harga bahan bakar akan memukul usaha kecil, namun pengaruhnya tidak terlalu besar yakni peningkatan ongkos produksi kurang dari 15%. Menurut logika sang menteri, usaha yang terpukul hanya usaha yang padat penggunaan bahan bakar, seperti usaha nelayan dan transportasi.

Menteri Koperasi tidak melihat kenyataan bahwa naiknya harga bahan bakar hampir meningkatkan seluruh komponen produksi usaha: dari bahan baku (yang naik akibat lonjakan tarif transportasi) hingga upah pekerja. Bahkan sektor jasa akan terpengaruh berat dengan naiknya tarif listrik yang akan menjadi konsekuensi logis dari naiknya harga bahan bakar.

Tapi, pernyataan paling menggelikan datang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Mengomentari langkanya elpiji dan naiknya harga gas itu yang gila-gilaan belakangan ini, dia mengatakan ”Itu tandanya bagus.” Kalla melihatnya sebagai gejala perubahan pola konsumsi energi masyarakat dari minyak tanah (yang mahal) ke elpiji akibat pencabutan subsidi yang dilakukan pemerintah.

Voila! Orang miskin, yang kini kesulitan membeli minyak tanah, telah mengalami ”sofistikasi” menggunakan gas elpiji yang harga tabungnya saja bisa mencapai Rp 300 ribuan, belum lagi harga gas yang kini melonjak jadi Rp 75 ribu per tabung.*

Saturday, April 23, 2005

Blog, Jurnalisme dan Prosumsi

Maraknya blog adalah maraknya kecenderungan "prosumsi". Istilah prosumsi diperkenalkan Alvin Tofler melalui "Future Shock" yang terbit pada 1970-an. Prosumsi = produksi dan konsumsi. Kemajuan teknologi, seperti internet, memungkinkan setiap orang menjadi produsen dan konsumen informasi sekaligus.

Blog memang merupakan sparing-partner menarik bagi jurnalisme konvensional. Banyak orang, terutama di Amerika, makin kehilangan kepercayaan pada media-media mainstream (televisi dan bahkan koran)--jumlah pemirsa dan pembaca koran terus turun dari tahun ke tahun. Media mainstream kian jatuh pamornya karena makin sarat berita negatif, gosip, kriminalitas, dan infotainmen. Fox TV adalah personalitas negative-journalism yang ekstrem, tapi citra seperti itu bahkan kini menghinggapi jaringan utama seperti CNN, ABC dan CBS (lihat bagaimana mereka memberitakan perang di Irak).

Orang beralih ke media lain. Orang mulai menggagas media alternatif untuk mencari substansi yang tidak diliput media. Atau menggagas civic-journalism. Atau mencari blog berisi opini dan perspektif alternatif.

Di masa depan, blog tidak hanya akan berisi jurnalisme single-source atau sekadar opini. Jurnalisme dengan standar yang bagus bisa muncul dari sini, lebih bagus dari media konvensional. Blog memudahkan wartawan "menerbitkan" karya jurnalistiknya tanpa saluran konvensional (mencetak dan menyiarkan).

Tapi, bagus atau tidak, kredibel atau tidak, karya jurnalisme dalam sebuah blog akan teruji oleh waktu, dan dinilai berdasar standar jurnalistik yang lazim. Jurnalisme adalah jurnalisme. Dan blog hanya medium. Tapi, mungkin kata-kata Marshall McLuhan berlaku di sini: "medium is the message". Blog adalah medium yang mengubah kebiasaan membaca dan menulis, mengirim dan menerima informasi.

PKS, Islam dan Barat

Fenomena Partai keadilan Sejahtera (PKS) membawa pemikiran bahwa pemerintahan di Barat perlu menanggalkan pandangan stereotip tentang partai Islam jika ingin membangun kesepahaman dan dialog yang bermanfaat dengan dunia Islam. Itulah kesimpulan Greg Fealy, pengamat Islamd an Indonesia dari Australian National niversity, dalam sebuah artikel di koran The Australian Maret lalu.

Why West should come to Islamist party (Anthony Bubalo, Greg Fealy)- The Australian, 29 March 2005, p. 11.

Fealy adalah salah satu pengamat Islam dan Indonesia yang saya sukai karena analisisnya yang jernih dan cenderung fair. Inti dari saran Fealy adalah bahwa, dengan melihat contoh PKS di Indonesia, Barat/Australia harus menanggalkan pandangan stereotipe tentang Islam dan partai berbasis Islam.

Pandangan Barat tentang Islam memang belum banyak beranjak dari kabut yang diciptakan Samuel Huntington: bahwa Islam adalah musuh dan bahwa Islam tidak kompatible dengan demokrasi.

Di mana-mana, partai Islam senantiasa dipandang sinis dan dengan penuh curiga meskipun mereka telah mau tunduk pada prinsip demokrasi: mengikuti pemilihan umum. Kecurigaan tidak hanya datang dari orang non-Muslim di Barat, tapi bahkan juga dari orang Muslim sekuler di negeri mayoritas Islam.

Di Aljazair, misalnya, Barat menolak kemenangan telak Front Penyelamatan Islam (FIS) dalam pemilu. Didukung oleh kelompok sekuler Aljazair, Barat mendukung pemberangusan FIS oleh rezim militer setempat.

Di Turki, Barat dan kaum sekuler mendukung pemberangusan oleh militer partai-partai berbasis Islam seperti Refah dan Partai Keadilan.

Ini memang ironis. Barat dan kaum sekuler, yang mengaku demokratis dan mengagung-agungkan demokrasi, ternyata bersikap tidak demokratis. Saya banyak menulis tentang ini pada 1990-an dan menambahkan Partai Aksi Demokratik (SDA) di Bosnia sebagai contoh partai malang yang lain. Meski berbasis Islam, SDA yang dipelopori Alija Izetbegovic punya platform modern, pluralistik dan toleran. Tapi, Izetbegovic dan partai itu tidak memperoleh dukungan setimpal dari Eropa ketika mereka dirangsek kaum nasionalis sempit Serbia, yang Kristen Ortodoks.

Orang Islam dikritik penuh kekerasan. Namun, jika mereka mencoba jalan non-kekerasan, lewat politik dan pemilihan umum, mereka tetap tak dipercaya. Kasus partai-partai Islam di Aljazair, Turki, Bosnia dan Indonesia menunjukkan hal itu. Barat lebih condong mendukung rezim-rezim sekular otoriter/militeristik di Timur Tengah (dan Indonesia masa lalu) ketimbang memberi kesempatan kepada politisi Islam.

Cara pikir seperti itu, menurut Fealy, harus dikoreksi jika ingin membangun kesepahaman antara Islam dan Barat. Itulah inti pesannya. Barat dan Islam, betatapun punya kepentingan berbeda, bisa bebicara pada platform yang sama: demokrasi. Hubungan Barat dan Islam tidak segelap seperti diramalkan Huntington jika ada kesediaan bersikap jujur dan fair di kedua pihak.