Pada Oktober 2005, teman saya Andreas Harsono mengirim sebuah berita Majalah Tempo ke Milis Pantau-Komunitas. Judul berita itu: "Confessions of a Freelance Mujahid". Berita itu seolah-olah berisi pengakuan seorang teroris bernama Abdullah Sunata yang punya rencana membunuh tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar-Abdalla.
Sempat ada sedikit perdebatan antara saya dan Andreas kala itu. Saya mencoba melihat berita itu secara kritis, sementara Andreas memilih menghindar dari memberi komentar terhadap artikel yang problematik ini.
Berita yang ditulis Nezar Patria itu (Tempo, No. 07/VI, Oct 18-24, 2005), menurut saya, jauh di bawah standar jurnalistik yang lazim dan tidak ketat dalam menerapkan standar peliputan.
Berita itu juga cenderung menyesatkan pembaca, sebab seolah-olah Tempo menerima pengakuan secara langsung dari "sang teroris" dan bahwa rencana membunuh Ulil memang benar adanya.
Lebih fatal, berita itu bersifat menghakimi secara sepihak orang yang tak berdaya (dalam penjara). Bayangkan jika Abdullah Sunata adalah orang yang berkuasa; akankah Tempo berani menulis seperti itu tanpa berisiko digugat seperti dalam kasus Tomy Winata?
Tempo diuntungkan tidak hanya oleh ketakberdayaan Sunata, tapi juga anggapan umum bahwa Sunata adalah teroris, yang karenaya tak perlu suaranya didengar. Namun, dari segi jurnalistik, saya menganggap, Nezar serta Tempo punya utang kepada Sunata dan pembacanya.
Well, pekan ini, Nezar dan Tempo membayar utangnya. Tempo memuat wawancara khusus Nezar dengan Abdullah Sunata, yang antara lain berisi penjelasan darinya soal tuduhan rencana pembunuhan Ulil itu.
Sunata mengatakan dalam wawancara itu, rencana pembunuhan Ulil diungkapkan oleh seorang saksi yang berada dalam tekanan polisi. Pengadilan Sunata sendiri tidak berhasil membuktikan adanya rencana itu, dan gagal membuktikan bahwa Sunata punya rencana membunuh Ulil, meski mengecam pandangan liberal tokoh JIL ini.
ANGKAT TOPI BUAT NEZAR
Upaya Nezar berkali-kali mewawancara Sunata patut dipujikan. Renungan baliknya sebagai orang yang pernah menjadi korban ketidakadilan dan masuk penjara pada akhir Orde Baru lah yang barangkali mendorong Nezar terpacu untuk membuat klarifikasi lebih berimbang. Saya angkat topi buat Nezar.
Meski begitu, ada sedikit catatan tambahan. Wawancara khusus itu dimuat tujuh bulan setelah berita pertama. Banyak pembaca sudah melupakan "rencana teroris membunuh Ulil" (di tengah arus deras informasi, saya sendiri sudah melupakannya). Tulisan dalam pengantar wawancara itu gagal merujuk secara spesifik artikel yang dimuat pada Oktober 2005.
Isi wawancara Sunata mungkin tidak bisa diterima begitu saja sebagai kebenaran. Tapi, coba bayangkan jika Tempo mau menunggu wawancara terhadap tersangka ini untuk menurunkan berita pertama yang hampir sepenuhnya hanya bersumberkan pada polisi. Pasti akan ada perspektif berbeda.
Perspektif berbeda itu akan memandu kita untuk mengajukan pertanyaan lanjutan:
Apakah benar polisi telah sengaja melakukan frame-up, dan menunjukkan kekhawatiran berlebihan bahwa kaum teroris (atau siapa saja yang dituding teroris) akan membunuhi semua Muslim moderat/sekuler/liberal?
Apakah benar polisi punya motif untuk memperuncing konflik antara kelompok Islam moderat dengan kelompok garis keras, dan memicu spiral kekerasan tak berujung?
Apakah benar polisi mencoba membuat label serampangan bahwa mereka yang terlibat dalam perang agama di Ambon (seperti Sonata) otomatis menyetujui aksi teror di tempat lain di Indonesia?
Apakah benar polisi berbohong? Dan untuk motif apa mereka berbohong?
PELAJARAN TERPENTING
Saya kira liputan Nezar tentang Abdullah Sunata ini memberikan pelajaran terpenting bagi siapa saja yang ingin menulis kasus terorisme di Indonesia.
Pertama: Wartawan harus membuat atribusi fakta yang sejelas-jelasnya (bahwa beberapa statement polisi tidak bisa serta-merta dianggap sebagai FAKTA, melainkan harus dipandang sebagai KLAIM SEPIHAK)
Kedua: Wartawan juga perlu berhenti mengutip SUMBER ANONIM dari kalangan kepolisian (sumber anonim adalah sumber yang tidak bersedia mempertanggungjawabkan informasi/statement-nya)
Ketiga: Wartawan perlu menyadari bahwa polisi bukan pihak yang netral dalam "war on terror". Polisi punya kepentingan, termasuk kepentingan menyesatkan wartawan.
TAPI, APAKAH TEMPO BELAJAR?
Meski Nezar nampak belajar dari kelemahan prosedur jurnalismenya di masa lalu, Tempo secara keseluruhan belum beranjak jauh dari pola peliputan yang keliru tapi dipraktekkan terus-menerus.
Pada berita lain dalam edisi yang sama pekan ini, Tempo menurunkan berita terorisme yang lain, "Berkelit dengan Jejaring Lama", tentang penggerebegan teroris di Wonosobo, Jawa Tengah. (Berita ini dirujuk ke wawancara khusus dengan Sunata).
Dalam berita ini, yang ditulis Budi Setyarso, Tempo masih menggunakan pola-pola lama: begitu banyak sumber anonim, frame-up polisi yang tidak diverifikasi, kejanggalan yang tidak dipertanyakan, dan penghakiman sepihak kepada para tersangka teroris, baik yang mati maupun yang ditangkap.
Tempo belum belajar.