Thursday, May 11, 2006

ANTV, Karni dan Eksklusivitas

ANTV dan Karni Ilyas merindukan liputan eksklusif, momentum baru untuk me-relaunch dan me-rebrand stasiun televisi itu, stasiun milik Keluarga Bakrie yang kini sebagian sahamnya dibeli raksasa media Rupert Murdoch. Salah satu liputan eksklusif mutakhir adalah ”penggrebegan teroris” di Wonosobo.

Saya ada di lokasi kejadian beberapa jam setelah penggerebegan (sedang kebetulan pulang ke kota kelahiran saya itu). Melihat lokasi peristiwa, saya segera bisa menyimpulkan betapa ANTV memperoleh privelege sangat besar dalam liputan itu. Dan segera pula muncul pertanyaan di kepala saya: apa yang telah dan akan diberikan oleh ANTV kepada pihak kepolisian sebagai imbalannya?

Rumah "sarang teroris" terletak di pinggir jalan utama yang menghubungkan Wonosobo dengan kota-kota lain seperti Temanggung, Magelang, dan Purworejo. Bus-bus besar jurusan Purwokerto-Wonosobo-Semarang melewati jalan itu.

Mobil studio-mini ANTV (lengkap dengan satelit) persis parkir di seberang jalan, yang membuat stasiun televisi ini paling strategis mengarahkan kamera ke rumah kecil tanpa pagar itu. Mobil itu sudah datang pada malam hari ketika banyak wartawan cetak dan stasiun televisi lain masih terlelap.

Bahkan jika para wartawan lain tahu, mereka takkan bisa memperoleh gambar yang sama, sebab jalan dari arah Magelang maupun dari arah Wonosobo sudah diblokir sejak malam hari. Dan segera setelah penggerebegan usai, rumah itu tak hanya dikelilingi "police line" tapi dipagari dengan tripleks tinggi, tidak memungkinkan wartawan yang datang kemudian memiliki pandangan bebas ke rumah itu, apalagi memasukinya.

Sebuah kerjasama yang manis antara satu stasiun televisi dan aparat kepolisian: gambar eksklusif dan berita besar. Angle kamera yang sempurna dan script cerita yang penuh drama. Benar-benar ”reality show” yang menegangkan.

Jika semua mulus, berita penggerebegan itu akan menjadi berita terbesar sepanjang hari dan keesokan harinya. Tapi, sayang, di luar kendali mereka, marak kerusuhan besar di Tuban yang membuat berita Wonosobo ini tidak terlalu menonjol.

Bagaimanapun, sekali lagi, ANTV dan Karni telah berhasil menunjukkan kekuatan scoop dan gambar yang eksklusif.

APA IMBALANNYA?

Meski mendapat liputan eksklusif, ANTV dan Karni Ilyas kehilangan daya kritis terhadap obyek liputannya. Itu merupakan keniscayaan (atau konsekuensi logis) dari metode jurnalisme yang mereka terapkan.

Sangatlah bisa dipahami jika setiap media, setiap stasiun televisi, berusaha mendapatkan liputan eksklusif. Kebutuhan seperti ini terutama mencolok di era ketika media makin menjadi industri, ketika persaingan mengeras dan ketika rating menjadi sesembahan baru.

Salah satu cara paling ampuh dalam mendapatkan eksklusivitas adalah memelihara hubungan baik dengan "insider" (orang dalam) serta mengail bocoran darinya. Dan dalam soal seperti ini, Karni memang istimewa. Dia sudah menunjukkan reputasinya ketika menjadi redaktur hukum Majalah Tempo, ketika membesarkan Majalah Forum (Keadilan), ketika di SCTV dan ketika kini di ANTV.

Tapi, hubungan baik dengan insider tidaklah gratis; harus ada yang dibayarkan, harus ada yang direlakan: obyektifitas serta daya kritis.

EMBEDDED-JOURNALISM

Sesungguhnya, liputan ANTV tentang "penggerebegan teroris" di Malang dan Wonosobo menggunakan praktek embedded-journalism (atau jurnalisme-melekat).

Meski sedikit lebih canggih, ini tak ada bedanya dengan praktek wartawan Buser atau Sergap yang kadang ikut rombongan polisi menggerebek cafe atau tempat perjudian.

Tak jauh beda pula dengan para wartawan yang ikut rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam lawatan-lawatan ke luar negeri, atau wartawan CNN dan FOX TV yang meliput konflik di Irak dari sudut pandang tentara Amerika.

Embedded-journalism kadang tak terhindarkan. Namun, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan masak sebelum melakukannya:

1. Kita tidak semestinya mencantolkan diri pada salah satu pihak yang terlibat dalam konflik, atau pada pihak yang punya kepentingan terhadap suatu perkara/liputan.

2. Eksklusivitas dan keamanan saja tidak bisa menjadi dalih bagi wartawan untuk mencantol kepada salah satu pihak yang punya kepentingan dalam sebuah perkara. Dalih tetap harus diletakkan pada kepentingan publik untuk mendapat informasi yang lengkap dan berimbang.

3. Jika embedded-journalism tak bisa dihindari, wartawan perlu membuat serangkaian mekanisme yang menjamin agar liputan sepihak ini bisa dinetralisasikan dan dibuat imbang.

4. Jika embedded-journalism tak bisa dihindari, dan keberimbangan sulit diterapkan, wartawan perlu membuat disclosure sejelas-jelasnya bahwa liputan yang dibuat dengan teknik embedded itu memang liputan sepihak sehingga pembaca atau pemirsa tahu persis posisi liputan itu, yang memang tidak dimaksudkan sebagai liputan berimbang.

LIPUTAN DI WONOSOBO

Kembali ke liputan ANTV di Wonosobo, yang pertama-tama dilupakan stasiun televisi itu adalah bahwa polisi bukanlah pihak yang netral dalam kasus terorisme.

• Polisi menjadi satu pihak yang bertikai dalam "war on terror"
• Polisi punya kepentingan untuk memamerkan sukses dalam "perang melawan teror"
• Datasemen anti-teror memperoleh sumbangan dana signifikan dari Pemerintah Amerika
• Beberapa perwira tinggi kepolisian desperate untuk mengalihkan perhatian dari sorotan tuduhan korupsi yang dialamatkan kepada mereka.
• Aparat kepolisian punya kepentingan untuk membuat Abu Bakar Baasyir tetap berada dalam penjara, meski keterlibatannya dalam aksi teror tidak terbukti dalam pengadilan. Setiap ada perdebatan tentang pelepasan Baasyir, yang disebut imam Jemaah Islamiyah, hampir selalu disertai munculnya pola yang khas: penangkapan dan pengegrebekan "teroris".

KEJANGGALAN DAN MISTERI

Kecuali ANTV, tidak ada wartawan lain (termasuk saya), yang punya posisi dan akses yang bagus dalam liputan ini. Tapi, sejauh yang bisa saya lihat dari rekaman liputannya, bahkan ANTV tak bisa masuk ke rumah sarang teroris, apalagi mengetahui kejadian sebenarnya di dalam rumah itu ketika terjadi penggerebegan (posisi kamera ANTV hanya di seberang jalan).

Bagaimanapun sudah jelas ANTV memiliki posisi dan akses yang paling bagus dalam liputan ini dibanding wartawan manapun. Namun menurut saya mereka gagal dalam meliputnya secara komprehensif (apalagi berimbang), sehingga menyisakan sejumlah kejanggalan dan misteri tak terjawab.

1. SEBERAPA SIGNIFIKAN PERISTIWA INI?

Dari dua teroris yang terbunuh dan dua lainnya yang ditangkap, tidak satu pun ada dalam poster buron polisi yang disebarluaskan di seantero Indonesia (akhir pekan ini saya ada di Padang dan melihat poster-poster polisi itu di Bandara Internasional Minangkabau).

2. BENARKAH ADA BAKU TEMBAK?

Meski narasi presenter ANTV mengatakan telah terjadi tembak-menembak pada saat penggerebegan, rekaman liputan langsung ANTV itu sendiri, sejauh yang saya putar berulangkali, tidak menunjukkan ada perlawanan dari dalam rumah.

Beberapa hari setelah penggerebegan, Koran Tempo menulis berita yang meragukan adanya baku-tembak. Orangtua salah satu tersangka yang tewas mengatakan kepada koran itu tentang kejanggalan serius: tidak ada bekas luka tembak pada jenazah anaknya.

Hampir sama kasusnya dengan Azahari, gembong teroris yang dikatakan meledakkan diri, tapi menurut adik kandungnya, utuh tubuhnya dan hanya ada satu tembekan yang tepat mengenai jantungnya.

3. MUSTAHILKAH MENANGKAP TERORIS HIDUP-HIDUP?

Menangkap hidup tersangka teroris sangat penting untuk proses pengadilan yang bisa mengungkap misteri gerakan terorisme selama ini. Tapi, Kapolri mengatakan mereka adalah para teroris berbahaya yang harus digerebeg dengan kekerasan, yang tak terhindarkan menyebabkan kematian para tersangka.

Keterangan Kapolri kurang masuk akal dilihat dari pernyataan polisi yang lain.
Pejabat kepolisian mengatakan telah memonitor rumah itu selama beberapa pekan (bahkan tiga bulan). Berita di beberapa koran juga menunjukkan, kepolisian mengaku sudah tahu jauh hari sebelumnya bahwa memang tidak ada Noordin Top ada di rumah itu.

Rumah itu bersebelahan dengan rumah yang ditempati agen Bus Damri. Tak ada pagar yang memisahkan dua rumah sebelah-menyebelah itu. Sugiyono, salah satu karyawan agen Damri, mengatakan sudah lama mengenal para penghuni rumah ”teroris". Sugiyono juga mengaku sering masuk rumah itu untuk meminjam WC dan kamar mandi para ”teroris”. Mudah untuk menyimpulkan bahwa ini rumah yang terbuka bahkan bagi orang asing.

Bukankah dengan metode sederhana, polisi bisa menyelundupkan orang ke situ dan membekuk "para teroris" hidup-hidup?

4. MENGAPA TIDAK DIBEKUK MALAM HARI?

Kamar yang sering diinapi Sugiyono terletak di lantai dua agen Bus Damri. Kamar ini merupakan tempat yang strategis untuk menembak serta melempar granat dan gas airmata ke rumah sebelah. Sehari sebelum penggerebegan, polisi meminta Sugiyono pergi. Beberapa anggota datasemen anti-teror menggantikan posisinya.

Bukankah polisi bisa menggerebeg rumah itu pada malam hari dan membekuk para penghuninya dengan potensi kematian minimal? Bukankah polisi punya peralatan infra-merah yang canggih?

Tapi jelaslah kamera ANTV tak bisa bekerja di malam gelap. Penggerebegan dilakukan setelah matahari terbit sehingga ANTV bisa meliputnya secara ”live”. Sekali lagi, sebuah sajian ”reality show” yang sempurna.

KESIMPULAN

ANTV mendapatkan gambar eksklusif tapi lupa akan kewajibannya untuk meliputnya secara komprehensif, kehilangan daya kritis untuk mempertanyakan kejanggalan, dan bahkan (mudah-mudahan saya keliru) terjebak dalam konspirasi bersama polisi untuk menyesatkan publik dalam kasus terorisme ini.

ANTV mendapatkan liputan eksklusif yang sangat dibutuhkan untuk menancapkan posisinya di tengah persaingan ketat stasiun televisi. Tapi, siapakah yang membayar?

Pada sore hari setelah pengerebegan, ANTV mencoba membuat liputan lebih komprehensif, dengan menyertakan kilas-balik aksi teror di Indonesia. Tujuannya barangkali memberi konteks pada peristiwa pagi harinya. Namun, konteks yang diberikan inipun tetap one-sided, yakni cerita terorisme versi polisi (yang sebagian besar “unverified” atau “yet-to-be-verified”).

Semua tersangka di rumah itu dikatakan terlibat dalam berbagai aksi teror yang terpisah-pisah dan dalam periode yang berbeda (Bom Marriot, Bom Kuningan, Bom Natal), namun kini dibingkai dalam sebuah simpul yang satu: Noordin M. Top (dulu Azahari).

Melihat liputan sore ANTV itu, para pemirsa digiring untuk memahami dan mengerti kenapa polisi "terpaksa" mengeksekusi mati para tersangka teroris tanpa pengadilan. Pemirsa juga diajak untuk tidak punya perasaan dan empati terhadap keluarga orang-orang yang disangka (belum terbukti) teroris ini.

Salah satu yang ditangkap sehari-hari berjualan jagung rebus, beranak empat, satu diantaranya lumpuh.*