Tuesday, January 20, 2004

Gong Xi Fa Cai

Imlek adalah satu dari berbagai khasanah yang kita
temukan kembali berkat reformasi. Bersama segenap
tradisi Tionghoa dan Konghucu lainnya, perayaan ini
lama terkubur--setidaknya secara publik--akibat stigma
masa silam yang gelap. Munculnya kembali perayaan ini
ke tengah publik patut kita syukuri. Namun, itu
barangkali tidak banyak maknanya jika secara kolektif
kita masih menganut pandangan lama tentang hubungan
antar ras dan agama di negeri ini.

Setelah Idul Fitri, Natal, Nyepi, dan Waisak, perayaan
ini telah menegaskan betapa warna-warninya Indonesia.
Gebyar perayaan Imlek hari-hari ini menegaskan betapa
membanggakan sebenarnya negeri kita--kaya akan
keragaman budaya, ras dan agama. Tidak ada harapan
lebih baik bagi kita semua bahwa keragaman itu--yang
di masa lain dan di tempat lain cenderung menjadi
sumber konflik--justru bisa menjadi sumber kekuatan
kita di masa depan.

Mungkinkah harapan seperti itu diwujudkan? Dari
pengalaman masa lalu dan di berbagai belahan dunia,
kita harus mengakui, tidaklah mudah sebuah masyarakat
yang sangat majemuk bisa mengerahkan energi bersama
dalam sebuah persatuan yang saling menguatkan. Sejarah
umat manusia dipenuhi oleh konflik, seringkali
berdarah, antar ras dan agama. Hubungan antara yang
mayoritas dan yang minoritas hampir senantiasa menjadi
bahan bakar tragedi di mana-mana--di Irlandia,
Spanyol, Rusia, dan Yugoslavia.

Tak mengherankan jika hanya sedikit saja negeri di
dunia yang berisikan aneka ragam suku dan agama.
Selain Amerika Serikat, Indonesia mungkin adalah satu
negeri paling majemuk yang ada di muka bumi ini.

Seperti Amerika Serikat dengan minoritas kulit
hitamnya, Indonesia juga punya masalah dengan
minoritas Tionghoa--meski dengan asal-usul dan
manifestasi yang berbeda. Bahkan lima tahun setelah
reformasi, baik mayoritas pribumi maupun minoritas
Tionghoa masih harus secara jujur mengakui bahwa ada
soal di antara mereka. Bahkan reformasi 1998 ditandai
dengan ledakan peristiwa rasial yang memiriskan.

Kecurigaan dan prasangka masih besar, bahkan hingga
kini. Salah satu yang mencolok: minoritas Tionghoa
masih merasakan diskriminasi sistematis, sementara
mayoritas pribumi merasa termarjinalkan secara
ekonomi.

Namun, setidaknya setelah reformasi, kita bisa lebih
leluasa untuk membicarakan soal-soal rasial yang dulu
hanya bisa dibicarakan di balik pintu tertutup.
Reformasi juga menawarkan peluang bagi minoritas
Tionghoa untuk mengartikulasikan aspirasi politik,
budaya, dan sosial dengan lebih baik. Minoritas
Tionghoa menerima berkah dari disintegrasi politik
yang dibawa oleh proses demokratisasi, yang terbukti
tidak seluruhnya bersifat negatif.

Jika persatuan sejati ingin dibangun, langkah pertama
yang harus dilakukan justru mengakui adanya perbedaan.
Kebijakan mengganti nama Tionghoa dengan nama
Indonesia, serta mengebiri tradisi Tionghoa, hanya
melahirkan pembauran semu. Perbedaan yang dikubur
dalam-dalam justru hanya menjadi magma yang
sewaktu-waktu siap meledak.

Hanya jika minoritas Tionghoa menerima hak-hak sipil
(politik, budaya dan sosial) yang sepadan, maka
mayoritas pribumi bisa menagih tanggungjawab politik,
sosial dan ekonomi yang sepadan pula.***