Eskalasi kekerasan terus menggemuruh di Timur Tengah,
khususnya Palestina, menyusul pembunuhan Israel atas
pemimpin Hamas Abdel-Aziz al-Rantissi. Dan Presiden
George W. Bush makin jelas ketidakpeduliannya tentang
peran penting pemerintahnya sebagai instrumen
kebrutalan Israel. Makin hari makin jelas, Amerika
memang tidak secara tulus ingin membasmi terorisme;
negeri adikuasa itu telah terlibat sebagai pemberi
restu tindakan terorisme.
Dengan membunuh Al-Rantisi akhir pekan lalu, Israel
telah melenyapkan dua pemimpin Hamas dalam tempo satu
bulan terakhir. Akhir Maret lalu, helikopter Israel
sudah mengirim rudal yang lain untuk meluluhlantakkan
tubuh Sheik Ahmad Yassin, pemimpin spiritual Hamas, di
atas kursi rodanya.
Seperti pembunuhan Sheik Yassin, pembunuhan kali ini
pun memicu protes dari seluruh penjuru dunia—kecuali,
seperti biasa, dari Pemerintah Amerika Serikat. Ini
memberi kesan yang mencolok, seperti ditunjukkan oleh
pernyataan Liga Arab, bahwa Amerika memang mendukung
secara diam-diam kebijakan pembunuhan politik ini.
Bagi Dunia Arab, sikap Presiden Bush lebih menyakitkan
lagi. Tak hanya bungkam terhadap kebrutalan Israel.
Hanya beberapa hari sebelum pembunuhan itu, dia
menyetujui rencana Perdana Menteri Ariel Sharon untuk
menarik diri dari Gaza namun tetap mengangkangi
sejumlah permukiman Yahudi di Tepi Barat yang dicaplok
pada Perang 1967. Rencana itu jelas merupakan
penyelewengan terhadap pembentukan negeri Palestina
merdeka.
Dari sudut pandang Presiden Bush, hal yang paling
penting nampaknya adalah bagaimana memenangkan pemilu
presiden tahun ini. Mengkritik Israel berarti “bunuh
diri politik”, kehilangan suara lobi asing paling
dominan di negeri itu.
Tapi, ini juga memunculkan dilema bagi Presiden Bush
di sisi lain. Persetujuannya diam-diam terhadap
langkah brutal Israel telah menjauhkannya dari
Inggris, sekutu utamanya di Irak yang kini situasinya
makin tak menentu.
Dalam pernyataan resminya, Downing Street, Kantor
Perdana Menteri Tony Blair, mengutuk pembunuhan itu
sebagai “ilegal, tidak bisa dibenarkan dan
kontra-produktif”. Para pejabat Inggris marah melihat
betapa telanjangnya Amerika berdiri di pihak Israel,
terutama ketika ketegangan di Palestina akan sangat
mudah merembet ke Irak, tempat banyak prajurit Inggris
terancam di lapangan.
Perilaku Israel juga mencederai visi Tony Blair
tentang Timur Tengah yang dikemukakannya dalam
konferensi Partai Buruh dua tahun lalu: proses
perdamaian Timur Tengah harus diukur dari adanya
“sebuah negeri Israel yang bebas dari teror dan diakui
Dunia Arab, serta negeri Palestina yang layak
berdasarkan batas sebelum tahun 1967.”
Melihat perkembangan terakhir ini, nampak jelas bahwa
Amerika makin terisolasi dalam kebijakan Timur
Tengahnya yang tanpa syarat mendukung perilaku brutal
Israel itu. Tak hanya membuat ketegangan makin runcing
di Palestina, sikap Amerika ini memicu amarah yang
bisa membakar seluruh Timur Tengah, termasuk kawasan
Teluk Persia, dalam bentuk terorisme yang kian tak
terkendali.***