Saturday, April 23, 2005

PKS, Islam dan Barat

Fenomena Partai keadilan Sejahtera (PKS) membawa pemikiran bahwa pemerintahan di Barat perlu menanggalkan pandangan stereotip tentang partai Islam jika ingin membangun kesepahaman dan dialog yang bermanfaat dengan dunia Islam. Itulah kesimpulan Greg Fealy, pengamat Islamd an Indonesia dari Australian National niversity, dalam sebuah artikel di koran The Australian Maret lalu.

Why West should come to Islamist party (Anthony Bubalo, Greg Fealy)- The Australian, 29 March 2005, p. 11.

Fealy adalah salah satu pengamat Islam dan Indonesia yang saya sukai karena analisisnya yang jernih dan cenderung fair. Inti dari saran Fealy adalah bahwa, dengan melihat contoh PKS di Indonesia, Barat/Australia harus menanggalkan pandangan stereotipe tentang Islam dan partai berbasis Islam.

Pandangan Barat tentang Islam memang belum banyak beranjak dari kabut yang diciptakan Samuel Huntington: bahwa Islam adalah musuh dan bahwa Islam tidak kompatible dengan demokrasi.

Di mana-mana, partai Islam senantiasa dipandang sinis dan dengan penuh curiga meskipun mereka telah mau tunduk pada prinsip demokrasi: mengikuti pemilihan umum. Kecurigaan tidak hanya datang dari orang non-Muslim di Barat, tapi bahkan juga dari orang Muslim sekuler di negeri mayoritas Islam.

Di Aljazair, misalnya, Barat menolak kemenangan telak Front Penyelamatan Islam (FIS) dalam pemilu. Didukung oleh kelompok sekuler Aljazair, Barat mendukung pemberangusan FIS oleh rezim militer setempat.

Di Turki, Barat dan kaum sekuler mendukung pemberangusan oleh militer partai-partai berbasis Islam seperti Refah dan Partai Keadilan.

Ini memang ironis. Barat dan kaum sekuler, yang mengaku demokratis dan mengagung-agungkan demokrasi, ternyata bersikap tidak demokratis. Saya banyak menulis tentang ini pada 1990-an dan menambahkan Partai Aksi Demokratik (SDA) di Bosnia sebagai contoh partai malang yang lain. Meski berbasis Islam, SDA yang dipelopori Alija Izetbegovic punya platform modern, pluralistik dan toleran. Tapi, Izetbegovic dan partai itu tidak memperoleh dukungan setimpal dari Eropa ketika mereka dirangsek kaum nasionalis sempit Serbia, yang Kristen Ortodoks.

Orang Islam dikritik penuh kekerasan. Namun, jika mereka mencoba jalan non-kekerasan, lewat politik dan pemilihan umum, mereka tetap tak dipercaya. Kasus partai-partai Islam di Aljazair, Turki, Bosnia dan Indonesia menunjukkan hal itu. Barat lebih condong mendukung rezim-rezim sekular otoriter/militeristik di Timur Tengah (dan Indonesia masa lalu) ketimbang memberi kesempatan kepada politisi Islam.

Cara pikir seperti itu, menurut Fealy, harus dikoreksi jika ingin membangun kesepahaman antara Islam dan Barat. Itulah inti pesannya. Barat dan Islam, betatapun punya kepentingan berbeda, bisa bebicara pada platform yang sama: demokrasi. Hubungan Barat dan Islam tidak segelap seperti diramalkan Huntington jika ada kesediaan bersikap jujur dan fair di kedua pihak.