Menang atau kalah, membuat blunder atau tidak, Fabien Barthez bukanlah “Si Badut”—julukan melecehkan untuk kiper kesebelasan Prancis ini.
Dalam pertandingan perdana melawan Inggris, Zinedine Zidane lah memang yang menyarangkan dua gol kemenangan. Tapi, sebenarnya Barthez lah yang patut diacungi jempol. Dia berjasa mengangkat moral dan menumbuhkan harapan timnya setelah menyelamatkan gawangnya dari tembakan penalti David Beckham. Bukankah permainan belum benar-benar bisa disimpulkan sampai peluit panjang berbunyi?
Mengambil Barthez, Pelatih Jacques Santini telah mengambil risiko ditertawakan masyarakat sepakbola Eropa tapi dia tidak keliru. Barthez belum ternyata berhenti jadi “jimat” kesebelasan Prancis.
Nama Barthez sudah terlanjur buruk di Inggris. Manchester United mencampakkannya. Julukan “The Clown” diberikan kepadanya untuk sejumlah kesalahan konyol yang sering dilakukan di klub itu. Fans Manchester tak bisa melupakan kesalahan yang dibuatnya, ketika kalah melawan West Ham di Piala FA atau kebobolan gol Arsenal di Liga Utama. Dan ketika Manchester kalah memalukan dari Deportivo La Coruna di ajang Piala Champion, bahkan koran Spanyol pun ikut meledeknya sebagai “Badut di Teater Impian”.
Sementara Inggris menjadi kutukan, Barthez sebenarnya tidak memperoleh pujian yang layak sebagai satu dari sedikit kiper dengan prestasi gemilang: turut serta mempersembahkan bagi timnya Piala Dunia (1998), Piala Eropa (2000) dan Piala Champion (Marseille, 1993).
Bagaimanapun, dia memang lucu, atau lebih tepatnya unik di tengah makin keringnya dunia sepakbola dari “kegilaan”. Setelah kiper Meksiko Kiper Meksiko Jorge Campos atau kiper Swedia Thomas Ravelli hilang dari peredaran, Barthez mungkin sedikit dari kiper yang tidak enggan mengambil risiko men-dribble bola di luar kotak penalti.
Ketika sepakbola menjadi “sains” dan mengunggulkan ketrampilan “klinis”, Barthez juga menjadi istimewa. Dia pernah punya tradisi unik menyediakan kepala plontosnya sebagai jimat bagi kesebelasan Prancis, mempersilakan kapten Laurent Blanc mencium jidatnya sebelum pertandingan. (Setelah Blanc pensiun, tak ada pemain Prancis berani menunaikan tradisi itu, takut kualat.)
Tapi, gambaran tentang “Badut” sirna jika dia sudah bicara lebih pribadi. Seperti aktor Richard Geere, Barthez kagum pada ajaran Zen Buddha dan membuat dia nampak lebih suka membicarakan aspek psikologis dari permainan ketimbang aspek strategi dan ketrampilan teknis.
“Setelah berhasil memblok tembakan penalti David Beckham, saya melihat jarum jam,” katanya dalam konferensi pers. “Masih ada harapan bagi Prancis. Pengalaman bertahun-tahun lah yang memberi kita keyakinan dalam hati. Jika ada waktu maka ada harapan.”
Loncatan akrobatik Barthez pada menit 78 melawan Inggris itu memang seperti menjadi titik balik, atau setidaknya tambahan semangat ketika Zidane dan kawan-kawan sudah nampak frustrasi berkali-kali gagal menembus pertahanan Sol Campbell.
“Saya pecaya pada naluri,” kata Barthez. “Dalam tendangan penalti, seorang kiper membutuhkan 90% keberuntungan dan 10% keyakinan untuk bisa menyelamatkan gawangnya.”
Penalti, kata Barthez, juga seperti permainan poker. “Permainan yang penuh gertak sambal. Saya lihat Beckham sengaja melirik ke sisi kiri saya seolah-olah dia akan menendang bola ke situ. Tapi, saya sudah memutuskan untuk memblok bola ke arah lain. Sekali diputuskan, kita tak boleh ragu. Dan beruntung saya benar.”
Keberuntungan dan keyakinan. “Metode dan teori tidak banyak membantu dalam situasi seperti itu.”
Namun, bahkan setelah tindakan penyelamatan yang gemilang itu, Barthez akan selalu menemukan keseimbangan baik di dalam sukses maupun kegagalan, di dalam kiritik maupun pujian, buah dari ajaran Zen: “Menghadapi kesulitan beroleh nasib baik, menghadapi persetujuan menerima tentangan.”***