Wednesday, July 14, 2004

"Busway" dan Kota yang Absurd

Tindakan yang rasional menurut ukuran individu
seringkali menjadi absurd dalam skala sosial sebuah
kota. Ini tidak hanya berlaku dalam soal transportasi
perkotaan, tapi juga dalam manajemen air bersih dan
sampah.


Meski warga kota masing-masing punya andil, pemerintah
kotalah yang paling bertanggungjawab untuk membuat
kebijakan dan peraturan agar kehidupan kolektif
berlangsung nyaman, murah dan efisien.

Namun, Pemerintah Kota Jakarta nampaknya tidak
benar-benar menyadari hal ini. Kita lihat misalnya
dalam soal kebijakan transportasi. Pemerintah kini
tengah mengerjakan "busway", yang akan segera disertai
dengan kebijakan "three-in-one" lebih ketat dan lebih
lama (tidak hanya pada jam-jam sibuk).

Pada dasarnya, ini merupakan kebijakan bagus. Ide
dasar pembangunn "busway" antara Blok M dan Kota
adalah mengurangi penggunaan mobil pribadi dan
menggantinya dengan trasportasi umum. Hal ini selaras
dengan saran pakar lingkungan Prof. Otto Soemarwoto
pada awal 2001.

Secara konsep, kebijakan ini memang layak didukung.
Sistem transportasi Jakarta akan selamanya parah jika
tidak ada reorientasi radikal dari sistem yang
memanjakan penggunaan mobil pribadi ke sistem angkutan
umum.

Memang rasional jika orang memilih bepergian
mengendarai mobil pribadi, yang cepat dan nyaman.
Tapi, ketika orang berlomba-lomba memakai mobil
pribadi, karena tiadanya alternatif lain, yang terjadi
adalah kesemrawutan dan kemacetan lalu lintas.

Jelas tidak nyaman, apalagi cepat. Belum lagi kita
memperhitungkan pemborosan bahan bakar, pencemaran
udara serta menyusutnya lahan hijau untuk memberi
ruang pada aspal jalanan.

Mobil pribadi tidak efisien dan boros bahan bakar.
Sedan, misalnya, menghabiskan energi per km per
penumpang lebih rakus dari pesawat udara, kereta api,
dan bus antarkota.

Kebijakan pemerintah kota yang memanjakan penggunaan
mobil pribadi juga hanya memicu lingkaran setan:
jalan-jalan baru, yang tadinya dibangun untuk
memecahkan problem kemacetan, hanya mengundang lebih
banyak mobil baru yang akhirnya membuat kemacetan
baru.

Meski bagus, konsep "busway" ini sayangnya tidak
diterapkan secara komprehensif. Pemerintah, misalnya,
tidak memikirkan bagaimana menyediakan kawasan parkir
yang memadai agar orang bisa menitipkan mobilnya di
situ dan bepergian dalam kota menggunakan bus khusus.

Bahkan konsep "busway" itu sendiri sebenarnya hanya
solusi parsial dan karenanya tidak banyak gunanya jika
dilihat secara keseluruhan. Gubernur Sutiyoso masih
terlalu memprioritaskan pengguna mobil pribadi dengan
pembangunan jalan layang (Kuningan dan Pancoran) serta
under-pass (Pramuka dan Cawang). Juga tidak ada
kenaikan pajak signifikans terhadap mobil pribadi
seperti diusulkan Prof. Otto.

Artinya, tidak ada upaya yang benar-benar terpadu
untuk mengubah secara radikal sistem transportasi.

Dan jika begitu, proyek "busway" ini sebenarnya hanya
merupakan obyekan baru untuk memanfaatkan dana publik
Rp 120 milyar ketimbang merupakan solusi serius
pemerintah kota dalam menjawab problem kolektif yang
dihadapi publik.