Wednesday, July 14, 2004

Dilema Arroyo, Kecaman Buat Bush

Ketika para demonstran di Manila menuntut pasukan
Filipina ditarik dari Irak, mereka tidak hanya sedang
peduli pada nasib Angelo de la Cruz, seorang sopir
truk yang disandera gerilyawan Irak. Mereka memprotes
perang ilegal yang dipaksakan Presiden Amerika Serikat
George W. Bush di Timur Tengah.


Pemerintah Filipina belum memutuskan sikap terhadap
ancaman para gerilyawan yang bersumpah akan membunuh
de la Cruz jika negeri itu tidak mempercepat penarikan
pasukannya sebulan lebih awal, yakni pada 20 Juli ini.
Seorang pejabat teras kementrian luar negeri Filipina
memang menyatakan pasukannya “akan segera
ditarikmundur”. Namun, pernyataan ini belum memperoleh
konfirmasi dari istana presiden.

Bagaimanapun, membesarnya tuntutan publiknya sendiri
jelas akan menghadapkan Presiden Gloria Macapagal
Arroyo pada dilema. Filipina adalah kawan dekat
Amerika Serikat, satu dari sedikit negeri yang
berhasil dibujuk Pemerintah Bush untuk menyetujui
agresi ke Irak—-meski dengan dalih yang kini terbukti
bohong belaka. Tapi, penarikan mundur pasukannya akan
membuat tegang hubungan kedua negeri; bukan mustahil
Filipina juga bakal kehilangan “lisensi bisnis”
pembangunan kembali Irak.

Tuntutan para gerilyawan Irak jelas hanya bersifat
simbolis. Namun terbukti efektif. Jumlah tentara
Filipina di Irak sebenarnya tidak ada artinya—hanya 51
orang dari sekitar 150.000 personil koalisi yang
didominasi Amerika. Tapi, ada sekitar 4.000 warga
sipil Filipina yang memperoleh pekerjaan di
pangkalan-pangkalan militer Amerika di Irak.

Jika Filipina menyerah pada tuntutan para gerilyawan,
maka ini merupakan pukulan telak tak hanya bagi
Presiden Gloria Macapagal Arroyo, tapi terutama bagi
Presiden Bush. Filipina merupakan negeri terakhir yang
dipaksa mundur setelah belasan negeri pendukung
Amerika lainnya juga mempertimbangkan akan menarik
pasukan. Dukungan kepada Amerika, yang sejak awal
memang semu, kini semakin luntur.

Kasus Filipina ini menunjukkan betapa publik lebih
bijaksana dari pemerintahan mereka dalam menyikapi
agresi ke Irak. Banyak negeri mendukung Amerika bukan
demi “memberantas terorisme dan menyebarkan
demokrasi”, tapi alasan pragmatis menangguk bisnis
kolonialisme Amerika di Irak. Kini terbukti, meski
banyak orang ingin bisa berbisnis dan memperoleh
pekerjaan, mendukung Amerika dalam perang amoral itu
jauh lebih mahal harganya.

Di Spanyol, publik pemilih menjatuhkan pemerintah
pro-Amerika dan menggantikan pemerintah yang akhirnya
menarik pasukannya dari Irak. Di Australia, pemimpin
oposisi dari partai Buruh bersumpah akan menarik
pasukannya jika Perdana Menteri John Howard tergusur
melalui pemilu akhir tahun ini. Pemerintah Korea
Selatan dan Jepang juga menghadapi tekanan serupa dari
publiknya sendiri.

Menarik mengamati betapa publik demonstran
anti-perang, dari Manila hingga Madrid, dari Seoul
hingga Canberra, hanya sedikit mengecam gerilyawan
Irak yang menyandera warga sipil, yang bisa
dikategorikan tindakan terorisme. Mereka cenderung
menyalahkan pemerintahnya yang membebek pada Tuan
Bush. Ini sebuah pernyataan simbolis tentang betapa
gagalnya Amerika dalam “perang melawan terorisme” dan
betapa kata terorisme lebih pas diterapkan pada
perilaku Amerika sendiri di Irak.