Monday, July 12, 2004

Tikungan Tragis dan Pahit

Seperti plot drama Shakespeare, pertandingan itu
berakhir dengan tikungan tak terduga. Tikungan tragis
bagi David Beckham. Di Stadion Estadio da Luz,
tenggorokan supporter Inggris yang siap merayakan
kemenangan prematur tercekik dua gol Zinedine Zidane
di menit akhir pertandingan yang penuh drama dan
ironi.

Ironis. Terakhir kali ketika sebuah tim Inggris
terlibat dalam pertandingan dramatis yang menikung
seperti itu, mereka menang. Yakni lima tahun lalu
ketika Manchester United menggondol Piala Champions
setelah membungkam Bayern Munich dengan dua gol di
injury-time (Beckham dan Gary Neville berbagi
gol). Tapi di Estadio da Luz kemarin, wajah pemain
Inggris hanya bisa menirukan mimik ala zombie yang
diperlihatkan Oliver Kahn setelah peluit panjang
berbunyi lima tahun lalu. Terkejut. Pilu. Pahit.

Hal yang menyakitkan bagi Inggris justru bukan
kekalahan itu sendiri. Tapi, fakta bahwa mereka
sebenarnya bisa menang melawan tim Prancis yang lebih
tangguh--setidaknya jika pertandingan benar-benar
hanya berlangsung 90 menit.

Gambar tayang ulang pertandingan itu akan menghantui
tim asuhan Sven-Goran Eriksson, yang efeknya tak mudah
diatasi. Dengan pengalaman traumatis malam itu, dan
tekanan besar untuk menang, kini orang bertanya:
mampukah Inggris mengungguli dua tim anak bawang Swiss
dan Kroasia untuk setidaknya menjadi runner-up grup
dan lolos ke delapan besar?

Bagaimanapun, lagu kebangsaan Marseillaise
memang layak diperdengarkan. Hampir sepanjang
pertandingan Prancis telah memaksa Inggris kehilangan
kepribadiannya. Mana ada Inggris bermain
cattenacio seperti malam itu?

Dan akhirnya, pertandingan malam itu hanya
menggarisbawahi trend sepakbola yang telah lama
berlaku. Dengan popularitasnya yang luar biasa di
seluruh dunia, sepakbola adalah warisan kolonialisme
Inggris yang paling sukses dan paling bertahan lama.
Tapi, kekalahan tim Inggris malam itu menunjukkan
betapa episentrum kekuatan sepakbola telah lama
bergeser dari London.

Di bawah Eriksson, Inggris memang mencoba bangkit.
Tapi, pengamat sepakbola Inggris mengkritik Eriksson
hanya peduli merekrut pemain bintang, bukannya
membangun tim yang berkarakter. Pengamat lain
menyarankan bahwa sepakbola Inggris hanya bisa
diperbaiki lewat perubahan politik.

Politik? Penyatuan Eropa dipandang telah mengilhami
deregulasi tranfer pemain, yang dilakukan Inggris
dengan sangat liberalnya. Banjir pemain asing di Liga
Utama, misalnya, telah dianggap membunuh bakat lokal.
Hasilnya: karakter kesebelasan Inggris hilang,
prestasinya merosot.

Penganut "teori politik" itu kini punya peluang.
Secara kebetulan, Piala Eropa pekan ini
diselenggarakan hampir bersamaan dengan pemilihan umum
serentak di 25 negeri untuk memilih anggota Parlemen
Eropa. Di Inggris, perolehan suara kandidat Partai
Buruh-nya Tony Blair turun drastis. Dengan perang
ilegal di Irak, Blair telah terbukti melukai dirinya
sendiri seperti Heskey mengganjal secara tidak perlu
Makalele, melempangkan jalan Zidane mencetak gol, atau
seperti Gerard membuat blunder lewat back-pass
yang tidak diperhitungkan matang.

Turunnya suara Partai Buruh melempangkan jalan
kandidat Partai Independence, yang dikenal kritis
terhadap penyatuan Eropa (Eurosceptic). Partai
baru itu tidak akan segera menarik Inggris untuk
keluar dari Uni Eropa. Tapi, mereka bisa mengganjal
peraturan yang terlalu liberal, serta mencegah Inggris
menyerah total pada penyeragaman—termasuk dalam urusan
sepakbola.

Meski secara ekonomi tidak menguntungkan dan secara
sosial bisa menumbuhkan gelombang rasisme, Inggris
yang terisolasi mungkin hanya cara yang bisa dilakukan
agar suatu ketika kelak bisa lebih bicara di stadion-stadion internasional.

Kelak. Bukan dalam turnamen Portugal ini.***