Jakarta, 11 April 2005 - Menyambut perundingan damai Indonesia-Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia, pekan ini, lebih dari 500 orang Indonesia dari berbagai penjuru negeri dan dunia menandatangani Petisi "Peace for Aceh". Petisi ini berisi desakan agar pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sesegera mungkin mewujudkan perdamaian di Aceh.
"Rakyat Aceh, khususnya anak-anak, tak boleh lagi menjadi pelanduk di tengah desingan teror dan peluru," demikian bunyi petisi yang ditandatangani tersebut. "Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka harus memanfaatkan pertemuan Helsinki sebaik-baiknya untuk menemukan kompromi guna mewujudkan perdamaian komphrehensif dan lestari." (Petisi dan Daftar Penandatangan Terlampir)
Petisi tersebut dikirimkan kepada Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Panglima TNI Endrartono Sutarto, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Kapolri Da'i Bachtiar, Ketua MPR Hidayat Nurwahid, Ketua DPR Agung Laksono, para anggota Komisi I (Pertahanan) DPR-RI, pimpinan partai-partai politik, Perdana Menteri The State of Acheh Malik Mahmud (Stockholm, Swedia), serta mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari (mediator perundingan damai).
Untuk mendesakkan perdamaian yang lama dirindukan rakyat sipil Aceh, setiap Sabtu malam sejak 19 Februari 2005 sebagian penandatangan petisi juga melakukan demonstrasi dengan menyalakan lilin di Bunderan Hotel Indonesia, Jakarta.
Pekan ini, para wakil Indonesia dan GAM bertemu di Helsinki untuk melakukan perundingan damai putaran ketiga. Bencana kolosal tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, menurut para pendantanganan, mestilah menjadi momentum penting bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mewujudkan di Aceh.
Perdamaian semestinya menjadi prasyarat utama sebelum orang membicarakan lebih jauh pembangunan kembali Aceh. Gempa dan tsunami telah menewaskan 230.000 orang dan membuat ratusan ribu lainnya kehilangan rumah, serta kota dan desa luluh-lantak, baik secara fisik, sosial maupun ekonomi. Tanpa perdamaian, pemulihan fisik tidak akan banyak memberi manfaat kepada rakyat Aceh.
Selama 30 tahun terakhir, rakyat Aceh ibarat pelanduk yang terjepit baku-tembak aparat keamanan Indonesia (TNI dan Brimob) dan GAM. Jauh sebelum tsunami, banyak orang Aceh telah menderita. Sekitar 15.000 tewas akibat konflik bersenjata di sana dalam 30 tahun terakhir. "Anak-anak tidak tenteram belajar, ayah dan ibu tak bisa mencari nafkah dengan baik, tidak ada pengusaha yang mau berinvestasi di sana untuk bisa menyediakan lapangan kerja," demikian antara lain bunyi petisi.