Salah satu argumen terpenting yang diajukan para pendukung pencabutan subsidi BBM adalah ini: Harga minyak di pasaran dunia meningkat tajam (kini berkisar US$ 50 dan bahkan tidak mustahil meroket ke US$ 100).
Jika harga minyak naik maka demikian pula dengan besaran subsidi. Ini sangat logis. Menurut pemerintah, karena kenaikan itu pemerintah kini harus mengeluarkan lebih dari Rp 70 trilyun untuk subsidi minyak.
Meski masih anggota OPEC, Indonesia memang bukan lagi "eksportir minyak". Justru tak diuntungkan oleh kenaikan harga minyak.
Indonesia masih menjadi eksportir minyak mentah. Namun pada saat yang sama menjadi importir minyak olahan. Harga minyak olahan lebih mahal dari minyak mentah, sehingga dinilai dari uangnya (bukan volume minyak), Indonesia kini net-importer (pengimpor minyak).
Ini memang ironis. Selama puluhan tahun, ketika minyak masih berlimpah, Indonesia (Pertamina) gagal membangun instalasi pengolahan sehingga tak bisa menangguk keuntungan dari naiknya harga minyak dunia sekarang. Kini, setelah minyak habis, Indonesia harus gigit jari. Ini kesalahan Orde Baru yang terpenting dalam kebijakan migas dan iklim korupsi yang mengikutinya. Bukan kesalahan Pemerintahan Yudhoyono.
Dalam jangka panjang, terutama jika harga minyak justru cenderung naik, subsidi minyak memang akan melangit dan menggerogoti keuangan pemerintah. Jawaban logis pemerintah: mengurangi atau bahkan menghapus subsidi minyak.
Nampaknya logis. Tapi jawaban ini adalah jawaban mau enaknya sendiri, membebankan tanggungjawab pemerintah kepada rakyat.
Di mana-mana, tugas pemerintah adalah memberi subsidi (kata lain dari fasilitas dan kemudahan) kepada rakyatnya. Kata "memberi" bahkan cenderung menyesatkan. Sebagian besar pemasukan pemerintah Indonesia kini berasal dari pajak (sekitar 80%). Jadi pemberian subsidi bukanlah sikap Sinterklas. Pemerintah hanya menyalurkan kembali apa yang sudah diberikan rakyat melalui pajak.
Ada berbagai macam subsidi. Ada pula berbagai sifat subsidi. Tax holiday, misalnya, yang diberikan kepada perusahaan yang mau berinvestasi di sektor sosial seperti pendidikan dan kesehatan, adalah bentuk subsidi. Di Amerika orang mengenal social security, jaminan sosial (biaya hidup kita ditanggung negara jika kehilangan pekerjaan dan jika jatuh miskin). Subsidi pertanian di Amerika dan Eropa termasuk tinggi.
Dalam dunia perbankan kita dulu mengenal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI - yang pada dasarnya subsidi juga, diberikan pada industri perbankan). Bentuk subsidi lain: penjaminan bank. Jika sebuah bank ditutup karena bangkrut, meski bank itu bank swasta, pemerintah akan membayar dana nasabahnya--dan itulah yang terjadi sejak 1998 hingga kasus penutupan Bank Global belum lama ini.
Subsidi BBM sekarang (Rp 70 trilyun) sangat kecil dibanding subsidi yang diberikan kepada sektor perbankan swasta. Dana publik dipakai untuk subsidi swasta (segelintir konglomerat dan orang-orang kaya yang punya deposito di bank). Dan dalam jumlah yang sangat besar.
Pada 1998, dengan restu IMF, rakyat Indonesia dipaksa membeli perusahaan-perusahaan bangkrut milik konglomerat. Caranya? Pemerintah mengeluarkan surat utang (obligasi) dengan nilai Rp 700 trilyun lebih. Siapa membayar utang itu? Publik, kita semua, tak peduli kaya atau miskin.
Pemerintah, melalui BBPN, memang menguasai aset perusahaan swasta yang kemudian dijual. Tahun lalu, ketika BPPN dibubarkan, kita tahu nilai aset yang bisa dikembalikan kurang dari 30%--itupun belum dikurangi ongkos operasi BPPN yang aduhai. Tambah ironis, beberapa perusahaan BPPN yang sudah sehat setelah disuntik dana masyarakat, dijual kepada swasta lagi (dalam beberapa hal pemilik lama) dengan harga murah.
Publik dirugikan berlapis-lapis. Dan nilai kerugian mencapai ratusan trilyun--jauh lebih besar dari subsidi BBM pada tingkat sekarang.
Subsidi BLBI dan bail-out perusahaan swasta pada 1998 adalah subsidi langsung, yang hanya dinikmati segelintir orang meski nilainya ratusan trilyun. Sementara subsidi BBM adalah subsidi tak langsung. Minyak adalah komoditas strategis, yang gejolak harganya mempengaruhi berbagai sektor sekaligus. Subsidi minyak bukan subsidi langsung: bukan minyak itu sendiri yang dikirimkan langsung ke rumah-rumah kita. Subsidi minyak, karena perannya yang strategis, adalah peredam kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dan layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Jika subsidi dihapus, dan harga barang serta jasa naik, maka rakyat akan kehilangan daya beli, khususnya rakyat di kalangan miskin.
Pemerintah kini berusaha mengubah subsidi tak langsung itu menjadi subsidi langsung. Argumennya: subsidi BBM yang tidak langsung dinikmati orang-orang kaya yang bermobil dan secara intensif menggunakan listrik (dari BBM juga). Dana kompensasi BBM adalah bentuk subsidi langsung itu (beras miskin, kesehatan gratis, beasiswa untuk orang miskin). Ini oke saja, tapi ada dua pertanyaan penting:
1. Bagaimana orang miskin didefinisikan? Seberapa banyak mereka? Hanya 13%? Bagaimana dengan 50% orang yang mendekati miskin (berpenghasilan di bawah US$ 2)?
2. Di mana saja meraka? Punyakah pemerintah alamat mereka? Pertanyaan ini relevan karena dana kompensasi adalah subsidi langsung, dari pintu ke pintu. Bagaimana mendistribusikannya secara efektif dan tanpa ada penyunatan?
Memang ada unsur ketidakadilan dalam subsidi BBM. Orang kaya menggunakan BBM lebih banyak dari orang miskin. Ketidakddilan itu harus dikoreksi. Tapi, haruskah dengan menghapus seluruh subsidi? Bukankah ada cara lain: kenakan pajak yang lebih besar kepada orang kaya, pada mobil yang dipakai dan setiap perangkat elektronik mereka. Mengingat jumlah orang miskin jauh lebih banyak dari orang kaya, mana lebih masuk akal: menarik pajak orang kaya atau mendistribusikan subsidi langsung kepada orang miskin?
Jika mengurus bantuan langsung ke Aceh dan Nias dengan target dan jenis bantuan yang jelas saja tidak becus, bagaimana menyalurkan bantuan kepada puluhan juta orang miskin...
Dengan menghapus subsidi BBM dan membiarkan negara tetap membayar utang obligasi rekap perbankan, Pemerintah Yudhoyono telah memilih untuk berpihak pada orang-orang kaya.
Orang mengatakan ini merupakan konsekuensi dari kapitalisme. Keliru. Di negeri kapitalis Amerika dan Eropa, hal seperti ini tidak terjadi. Subsidi untuk orang miskin dan sektor pertanian di sana tergolong tinggi. Hampir mustahil bisa kita temukan pula di negeri-negeri kapitalis itu praktek busuk: betapa dengan mudah utang swasta dialihkan menjadi utang publik. Penjaminan dan bail-out terhadap perusahaan/utang swasta hanya dimungkinkan melalui perdebatan publik yang luas, bahwa itu memang mengandung kepentingan publik.
Sebaliknya dari menguntungkan publik, bail-out terhadap perusahaan swasta di Indonesia telah menyumbang secara signifikan jumlah utang yang harus dibayar publik. Pengeluaran negara untuk pembayaran utang sampai sekarang mencapai 36% (lebih dari Rp 100 trilyun) dari pengeluaran pemerintah--jenis pengeluaran terbesar. Dengan proporsi pengeluaran untuk membayar utang, pemerintah hanya sedikit menyisakan uang untuk pembangunan infrastruktur dan layanan sosial.
Dalam situasi seperti itu, untuk menyeimbangkan penerimaan dan pengeluaran negara, Pemerintah Yudhoyono punya banyak tugas dan tanggungjawab, yang semestinya dia sadari ketika berkampanye menjadi presiden.
1. Mengurangi derajat korupsi di kalangan birokrat.
2. Meningkatkan manajemen dan profesionalisme dalam penarikan pajak.
3. Menegosiasi utang luar negeri yang gila jumlahnya.
4. Membenahi BUMN yang korup, yang menyedot 20% pengeluaran negara.
5. Memikirkan strategi pembangunan ekonomi yang lebih masuk akal dan mempertimbangkan secara serius kalangan miskin.
6. Kreatif dan imajinatif mencari sumber-sumber daya baru untuk diolah dan dijual ke pasar internasional (dua pertiga negeri kita adalah perairan dengan kekayaan luar biaya yang belum dieksplorasi)
7. Membangun sistem transportasi publik yang efisien, murah dan nyaman, sehingga mengurangi orang berlomba-lomba membeli mobil pribadi yang boros BBM.
8. Memperkuat pemupukan modal sosial melalui pendidikan dan kesehatan yang berkualitas namun murah. Kini rumah sakit dan sekolah justri diprivatisasi secara radikal sehingga makin sulit dijangkau kalangan miskin.
Semua itu membutuhkan tenaga dan pikiran yang prima, juga dukungan politik yang luas. Pemerintah Yudhoyono tak hanya malas berpikir tapi justru meyepelekan dukungan politik publik: dia bilang "I don't care!"
Pemerintah Yudhoyono malas berpikir dan kurang keras menuntut diri sendiri. Dia menyerahkan beban kepada masyarakat. Jika itu rumusnya: siapa saja akan senang jadi presiden.
Lebih menjijikkan jika sikap seperti itu justru didukung oleh kalangan akademisi, cendekiawan dan budayawan seperti yang digalang Freedom Institute.***