Thursday, April 14, 2005

Andai Saya Presiden Yudhoyono

Saya akan menunda pencabutan subsidi minyak dan serius berjuang menghapus utang Indonesia.

Oleh Farid Gaban | Kantor Berita Pena Indonesia

Ditemani secangkir english breakfast dan dua keping roti bakar isi kacang, saya meluangkan waktu 40 menit duduk sendirian pagi ini di beranda istana kepresidenan. Saya minta kepala rumah tangga istana membawakan buku laporan mutakhir UNDP--Badan PBB untuk Program Pembangunan. Dua puluh menit saya perlukan untuk membaca laporan itu, dan 20 menit sisanya untuk merenung.

Saya baru sadar laporan UNDP itu berisi rekomendasi penting. Judulnya “The Economic of Democracy: Financing Human Development in Indonesia”. Ada tabel dan data yang mendukung argumen di situ. Tapi, khusus untuk bagian ini, saya minta nanti Ketua Bappenas Sri Mulyani atau Menteri Koordinator Ekuin Aburizal Bakrie membacanya. Mereka lebih akrab dengan angka-angka.

Saya menyesal ketika laporan itu terbit pertengahan tahun lalu tak sempat membacanya, atau mungkin sempat membaca sekilas tapi lupa isinya. Waktu itu, saya sibuk mempersiapkan kampanye presiden. Kampanye yang penting. Indonesia menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kali. Dan kini saya bersyukur memperoleh mandat besar yang bersejarah itu.

Secara ringkas buku ini mengusulkan agar pemerintah Indonesia memperbesar dua kali lipat pengeluarannya untuk kesejahteraan sosial. Laporan itu datang dengan kalkulasi dan angka. Pemerintah, kata mereka, memerlukan Rp 103,7 trilyun atau sekitar 6% dari pendapatan kotor domestik (GDP) untuk belanja sosial. Belanja ini sangat penting untuk menjamin rakyat kebanyakan memperoleh layanan dasar pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan dan keamanan fisik.

Itu bukan jumlah uang sedikit. Dan ekonomi negeri kita masih jauh dari pulih sejak Krisis 1998, yang mempersempit kemampuan pemerintah menyisihkan anggaran baru.

Tapi, buku itu benar, pembangunan modal manusia ini sangat penting. Setelah reformasi, rakyat Indonesia memperoleh kemerdekaan dan demokrasi politik. Namun, demokrasi sosial-ekonomi masih jauh dari jangkauan. Rakyat kini memang bisa memilih lebih banyak partai dan calon presiden, namun tak banyak pilihan bagi mereka untuk mendapatkan akses pada layanan dasar sosial-ekonomi karena terlalu miskinnya mereka. Di mana-mana saya mulai mendengar orang kecewa dengan politik, karena reformasi politik ternyata tak membawa kesejahteraan. Makin banyak orang kini merindukan hadirnya kembali Orde Baru. Ini pertanda buruk bagi demokrasi. Meski saya menghormati Presiden Soeharto, saya harus akui banyak kekeliruan telah dibuat pemerintahnya.

Saya sadar, tanpa memperbaiki tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi, demokrasi politik akan terancam. Padahal demokrasi politik itulah yang telah berjasa mengangkat saya ke kursi presiden.

Namun, pemupukan modal sosial, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan, tak hanya penting bagi demokrasi. Dalam tataran praktis, modal sosial diperlukan untuk menjamin pertumbuhan ekonomi. Indonesia adalah satu-satunya negeri Asia yang belum pulih dari Krisis 1998. Pertumbuhan ekonominya tersendat, antara lain karena rendahnya mutu sumber daya manusia di sini.

Lebih dari segalanya, akses pada kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan dan pangan, adalah hak rakyat yang asasi, yang menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhinya. Hak rakyat itu dilindungi konstitusi. Saya akan mudah dituduh inkonstitusional jika tak mampu menyediakannya.

***
ORANG MISKIN MENYUAP UNTUK MEMPEROLEH HAKNYA YANG DASAR
***

Membaca buku laporan UNDP itu saya sadar betapa ironisnya kita. Bahkan di masa Orde Baru, yang dikenal zaman pembangunan, belanja sosial di Indonesia jauh lebih kecil dibanding banyak negeri Asia-Pasifik. Prosentase anggaran kesehatan dan pendidikan terhadap GDP di Indonesia jauh lebih kecil dari Vietnam, dan hanya separo Srilanka. Setelah krisis, ketika keuangan negara menciut sangat cekak, nilai belanja sosial ini turun 40%.

Para ekonom neoliberal memang mengatakan pemerintah hanya perlu membangun iklim makroekonomi yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi. Sektor swastalah, kata mereka, yang kelak bisa membiayai belanja sosial. Mereka hanya benar sebagian.

Pada kenyataannya, pengeluaran swasta untuk sektor pendidikan dan kesehatan memang jauh lebih besar dari pengeluaran pemerintah yang hanya sekitar 20%. Tapi, menurut UNDP, ini mengandung bahaya. Pengeluaran swasta cenderung dimanfaatkan oleh orang kaya, sementara orang miskin akan gigit jari. UNDP datang dengan data mengerikan bahwa banyak orang miskin harus menyuap untuk memperoleh layanan dasar kesehatan.

Saya merasa telah tertipu pemandangan gemerlap Jakarta. Gedung mewah di Jalan Sudirman-Thamrin ternyata hanya fatamorgana. Pertumbuhan ekonomi tinggi semasa Orde Baru memang mengurangi jumlah kemiskinan absolut. Tahun ini jumlah mereka masih sekitar 18%, atau 36 juta orang. Tapi, data itu juga hanya sedikit bercerita. Dalam jumlah sangat besar, sekitar separoh penduduk Indonesia hidup hanya sedikit di atas garis kemiskinan.

Saya tidak tahu apa komentar Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie nanti. Tapi, saya sendiri merasa merinding membaca laporan itu, dan merasa sangat bersalah telah mencabut subsidi minyak beberapa pekan lalu. Lebih dari 100 juta rakyat Indonesia sangat rentan ekonominya. Sewaktu-waktu mereka bisa jatuh miskin jika ada lonjakan harga kebutuhan pokok. Akibat pencabutan subsidi minyak, jelas makin sedikit uang yang bisa mereka sisihkah untuk membiayai sekolah anak atau berobat ke puskesmas. Kristiani Herrawati, istri saya, tahu persis hal itu.

Saya malu bahwa pemerintah hanya sedikit sekali bisa membiayai investasi sosial mereka, bahkan sebelum pencabutan subsidi. Kini saya sadar kompensasi pencabutan subsidi minyak itupun sangat kecil. Cuma Rp 17 triyun, atau kurang dari seperlima yang diusulkan UNDP. Padahal, usulan itupun hanya agar anggaran sosial kita setara dengan Srilanka. Jangan kata Malaysia.

Saya tidak paham kenapa tiga pemerintahan setelah krisis—-Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri—-tidak mengoreksi pola pikir Pemerintahan Orde Baru itu, yang keblinger mengabaikan pemupukan modal sosial. Tempo hari kami memang merevisi anggaran yang dibuat Pemerintahan Megawati. Tapi, saya menyesal kenapa kami hanya merevisi asumsi harga minyak dan tidak melakukan revisi yang lebih mendasar untuk memberikan prioritas pada pembangunan sosial.

***
NEGERI PARADOKS BERNAMA INDONESIA
***

Masalahnya, bagaimana mungkin saya bisa menyediakan anggaran sosial sebesar seperti diusulkan UNDP itu di tengah kesulitan keuangan negara? Haruskah memperbesar pengeluaran dengan menoleransi risiko defisit seperti disarankan UNDP?

Berlawanan dengan saran IMF dan para ekonom neoliberal, banyak negara memang memilih menaikkan pengeluaran, hingga defisit, ketimbang menyengsarakan rakyatnya yang dilanda krisis. Amerika Serikat salah satu contohnya. Tapi, saya tak ingin melakukan itu. Saya setuju dengan pandangan kaum neoliberal dalam soal anggaran berimbang ini. Kristiani, istri saya, juga tahu bahwa “tak boleh besar pasak daripada tiang” ketika mengelola uang keluarga. Sama halnya untuk uang negara.

Saya harus memilih mengurangi pos-pos pengeluaran lain dan mengalihkannya untuk membiayai pemupukan modal sosial. Pos mana saja yang bisa saya kurangi?

Saya teringat berapa besar dana yang kita keluarkan setiap tahun untuk mensubsidi perusahaan negara, yakni sekitar 20% dari pengeluaran. Tapi, angka ini lebih kecil dari uang untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang negara.

Ya, utang negara! Paradoks dengan Jaguar dan Lexus yang saya lihat hilir-mudik di Segitiga Emas Jakarta, Indonesia adalah salah satu negeri terbangkrut dan penghutang terbesar di dunia. Setelah krisis, utang negara sempat membengkak menjadi US$ 130 milyar, atau 90% dari GDP.

Saya sadar, dengan utang sebesar itu Indonesia sudah masuk kelompok negeri paling berat beban utangnya--heavily indebted poor countries (HIPC). Indonesia satu kelas dengan negeri Afrika seperti Ethiopia, Mali, Angola dan Benin, yakni negeri-negeri yang rasio utangnya terhadap ekspor lebih dari 150% dan rasio bunga utang terhadap ekspor lebih dari 15%.

Pada 1998, rasio utang Indonesia terhadap ekspornya jauh melampaui standar itu, mencapai 252%, dan rasio bunga utangnya terhadap ekspor mencapai 33%!

Indonesia sudah tercekik utang. Dana publik yang harus saya sisihkan untuk membayar utang setiap tahun mencapai 30-40% dari total pengeluaran, jauh melebihi pos pengeluaran apapun. Tanpa koreksi, mustahil kita bisa menyisihkan anggaran untuk program sosial yang penting, terutama bagi kalangan miskin dan hampir-miskin.

Bagaimana mungkin fakta setelanjang itu lupa direnungkan Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie?

***
MENGGALAKKAN DIPLOMASI PENGHAPUSAN UTANG
***

Kini saya harus mengubah arah: memberi prioritas tinggi untuk menuntut pengurangan utang, agar bisa menyisihkan anggaran lebih banyak untuk belanja sosial. Saya tak puas hanya menerima moratorium utang Paris Club sebesar Rp 20 trilyun, yang pekan ini disetujui dan diumumkan Ketua Bappenas Sri Mulyani. Moratorium hanya berarti penundaan pembayaran, bukan penghapusan.

Ketimbang setuju saja nasehat para ekonom neoliberal, yang selalu menakut-nakuti saya soal konsekuensi tuntutan penghapusan utang, saya akan berkunjung ke Argentina dalam waktu dekat. Saya akan meminta saran Presiden Nestor Kirchner bagaimana resep mengurangi utang. Membantah mitos kaum neoliberal, awal Maret ini Argentina berhasil menghapus utang negara senilai lebih dari Rp 600 trilyun, atau sepertiga dari total utangnya.

Berlawanan dengan mitos kaum neoliberal, credit rating Argentina justru meningkat setelah penghapusan sebagian utangnya. Dan sementara Indonesia masih menderita outflow investasi ke luar negeri, Argentina justru mulai kebanjiran investor--menyangkali mitos neoliberalisme yang lain.

Indonesia memang tak bisa persis meniru Argentina, tapi saya ingin belajar tentang semangat yang melatarbelakanginya. Saya baca di koran, Presiden Kirchner dengan lantang berani mengatakan kepada para kreditor: “Kami tak sanggup lagi membayar utang,” katanya. “Kami hanya bisa membayar utang dengan terus-menerus memiskinkan rakyat kami—suatu hal yang tak ingin kami lakukan.” Presiden Hector tak hanya berhasil mengurangi beban utang negara. Dia juga sukses membangun kontrak sosial baru dengan kalangan legislatif dan publik pemilihnya.

Dari Argentina, saya akan terbang ke Eropa. Di London saya akan bertemu Perdana Menteri Tony Blair. Saya akan mengucapkan terima kasih bahwa pemerintahnya sangat mendukung penghapusan utang negara miskin. Meski harus melawan Amerika, Menteri Keuangan Inggris Gordon Brown gigih mengajak negeri industri maju menghapus total utang Afrika. Kunjungan saya akan merupakan pernyataan moral penting bahwa usul mulia itu harus digaungkan lebih keras lagi, dan juga mencakup penghapusan utang Indonesia yang selangit.

Saya akan minta Menko Ekuin Aburizal Bakrie mampir ke Brussels, membawa serta tiga staf ahlinya--Rizal Mallarangeng, Chatib Basri dan Lin Che Wei. Mereka saya minta mengunjungi markas Eurodad, European Network on Debt and Development, sebuah lembaga swadaya masyarakat. Delegasi Bakrie itu juga perlu menyampaikan ucapan terima kasih pemerintah Indonesia. Eurodad telah berjasa terus-menerus, tanpa diminta, mengkampanyekan penghapusan utang Indonesia.

Dua tahun lalu, Eurodad membuat laporan menarik dengan judul “Towards a Sustainable Debt Workout for Indonesia”. Juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng akan saya minta mengambil laporan itu dari internet dan menyebarkannya kepada para anggota kabinet serta rekan-rekan saya di badan legislatif agar kami bisa memperoleh pemahaman yang sama terhadap soal serius ini.

Eurodad menyimpulkan bahwa model moratorium utang seperti sekarang, yang resepnya disodorkan Bank Dunia, hanya sedikit saja bisa membantu kita. Indonesia satu-satunya negeri Asia yang belum pulih dari krisis ekonomi tujuh tahun lalu. Meski sudah mengabaikan belanja sosial, Indonesia takkan bisa bertahan menyelesaikan utangnya dengan resep Bank Dunia. Eurodad mengusulkan pemangkasan separoh dari total utang luar negeri agar Indonesia bisa menyisihkan dana cukup untuk mengurangi kemiskinan dan memupuk modal sosial. Kreditor multilateral Paris Club, menurut Eurodad, harus melupakan 79% utang Indonesia.

Saya akan meniru semangat Presiden Argentina Nestor Kirchner, memberi empati lebih besar kepada rakyatnya yang miskin ketimbang kepada lembaga-lembaga keuangan internasional yang sudah gemuk koceknya. Sikap nasionalis dan patriot sejati. Penghapusan utang memerlukan kerja keras dan dukungan luas, nasional maupun internasional. Saya perlu membangun kontrak sosial baru dengan publik pemilih, yang sekarang kecewa karena penghapusan subsidi minyak.

Sambil menyeruput tetes terakhir english breakfast, saya sadar hanya dengan itulah janji kampanye saya untuk perubahan dan demi kesejahteraan rakyat miskin tidak kedengaran seperti retorika belaka.